Kenapa saya ikut bali usada? Tahun 2008, saya kena serangan jantung. Waktu itu saya masih tugas di Irian, Papua, di rumah sakit masyarakat yang banyak orang Freeport dan saya kebetulan ikut mengelola di sana selama 4 tahun. Saya terkena sakit jantung lagi tahun 2011. Saya menjalani tindakan operasi 1 tahun sebanyak 2 kali. Namun itu juga belum baik.
Akhirnya saya memakai alat pacu jantung. Hidup saya sudah seperti robot, karena setiap 6 bulan hidup saya di program dengan alat-alat itu. Tahun 2014 saya operasi lagi untuk pembakaran sistem listrik jantung saya. Kata dokter saat itu harapannya tipis. Saya menjalani operasi 8 jam, tetapi di 6 jam lewat kemungkinan berhasil sedikit sekali. Tim dokter yang menangani saya sudah hampir putus asa, tetapi Tuhan berkehendak lain.
Selama ini saya tergantung dengan obat-obatan medis. Setelah saya kenal bali usada dan di ajari meditasi. Kalau di iman saya, agama saya, kebetulan saya seorang religius, meditasi tidak asing karena itu bagi saya juga wajib setiap hari. Hanya bentuknya beda. Kalau meditasi saya mengarah ke keagamaan, tetapi meditasi Bali Usada untuk kesehatan.
Waktu itu yang mengenalkan saya dengan Bali Usada adalah Bruder yang pernah ikut Usada Tapa Brata sampai 3 kali. Saya sempat tidak percaya bahwa penyakit itu bisa disembuhkan diri sendiri. Secara alternatif itu sudah banyak cerita tetapi ini beda. Waktu itu saya masih ragu-ragu mau ikut atau tidak. Kebetulan di Palembang ada program reguler dan setiap saat saya ikut mendampingi di rumah sakit. Saya lihat pasien, ada beberapa yang berhasil.
Kebetulan juga ada staf bidan saya yang kena lupus, tapi dengan rajin ikut meditasi sekarang sudah membaik dan bisa sembuh. Lalu ada beberapa pasien juga yang didampingi, ada yang kena prostat itu juga bisa tertolong, ada yang sakit jantung koroner dia selalu sesak nafas tetapi setelah di terapi secara intensif juga bias tertolong. Dari situ saya terdorong untuk ikut meditasi secara intensif.
Biasanya kalau akhir bulan atau awal tahun, otak saya dipenuhi dengan anggaran-anggaran. Rumah sakit ini mengajukan ini dan itu. Meskipun saya suster, kata karyawan saya kalau saya marah itu menakutkan orang. Apalagi kalau saya sudah menghadapi dokter-dokter saya yang mana kalau dokter itu kan berpikir pakai logika. Saya mengalami itu di manajemen sudah bertahun-tahun dan pernah juga menjadi pimpinan cabang sebuah bank, tapi mengatur manusia yang paling susah itu kayaknya mengatur dokter. Apalagi berdebat dengan direktur, kadang saya seperti burn out.
Jadi dari situ saya mencoba ikut reguler lalu mendampingi pasien-pasien atau orang-orang yang bermeditasi di rumah sakit Charitas dengan tim Bali Usada yang ada di Palembang. Akhirnya saya juga membuktikan bahwa saya merasakan jantung saya sudah tidak enak, lalu rasanya seperti mau kumat. Pernah terjadi tiba-tiba jam 9 sampai jam 11 saya masih mimpin rapat dengan direksi lalu setengah jam kemudian saya sudah dilarikan ke UGD. Saat itu saya tidak tahu, karena ritme jantung saya, meskipun sudah pakai alat pacu jantung tetapi tidak bekerja secara maksimal dan hal itu sering terjadi. Kadang-kadang hari ini saya di rumah sakit, besok saya memimpin rapat lagi. Tuhan yang memberi kekuatan.
Saat saya merasa tidak enak, merasa sesak, saya mencoba meditasi. Pak Merta mengajarkan, harus berkonsentrasi ke bagian yang sakit. Kalau sakit menjadikan sakit saya sebagai sahabat, tidak menjadi beban. Saya sapa. Jika saat ini jantung saya tidak enak, saya ajak bekerja sama supaya bisa fit lagi. Hampir satu tahun ini saya rasakan manfaatnya dan saya tidak tergantung pada obat lagi. Dokter jantung yang menangani saya. Kadang-kadang selalu cerewet, mengatakan Suster jangan terlalu capek, Suster jangan telat minum obat. Lalu, saya bilang saya tahu keadaan jantung saya. Saya bisa mengatur diri sendiri. Dengan saya ikut Bali Usada ini, saya punya pengetahuan baru bagaimana saya harus me-manage diri saya.
Kalau dipikir pikir memang sakit manusia itu sebenarnya memang 95% itu dari faktor pikiran dan psikis. Kalau betul-betul sakit itu sebenarnya hanya beberapa persen. Kalau saya lihat di rumah sakit yang betul-betul sakit itu kalau kecelakaan. Tetapi kalua sakit maag, sakit jantung, migrain segala macam itu kebanyakan itu faktor psikis dan faktor pikiran. Ikut Bali Usada ini paling tidak saya merasakan manfaat bagi diri saya sendiri. Saya ingin bersaksi seperti ini agar pasien-pasien saya juga terdorong. Bagi saya untuk kedepannya itu saya lebih ingin memotivasi diri saya sendiri dan mengenalkan para dokter saya bahwa di zaman modern ini bisa menangani suatu penyakit bukan 100% dari obat.