Testimoni Santi

Saya menyadari ada kesombongan dalam diri saya

Nama saya Santi, saya berasal dari Malang. Sebenarnya saya sudah mulai sejak tahun lalu tertarik untuk mencoba Bali Usada lewat YouTube, internet, dan Google.

Motivasi saya datang dari masalah yang saya alami, terutama di pikiran dan kondisi mental, termasuk masalah rumah tangga. Saya sudah mencoba berbagai usaha penyembuhan—mulai dari hipnoterapis, psikolog, rohaniawan, hingga mengikuti retreat dan berbagai metode lainnya.

 

Tapi, seperti kata orang Jawa, saya ini “tomat”—tobat kumat. Saat sedang menjalani proses penyembuhan, saya merasa lebih baik, yakin, dan optimis. Namun ketika kembali ke kehidupan nyata, begitu menghadapi cobaan, saya kembali ambruk, marah, benci, kecewa. Begitu terus berulang-ulang. Saya sempat berpikir, “Wah, ini akarnya belum dicabut. Bagaimana cara menyembuhkannya?”

 

Tahun lalu sebenarnya saya sudah berniat ikut Tapa Brata yang diadakan bulan September. Sudah sampai tahap koordinasi dengan admin dan sebagainya, tapi saya kembali diuji. Kebetulan saya adalah pengidap autoimun lupus. Saat itu, kondisi saya sempat memburuk—kaki tidak bisa digerakkan, untuk bergerak sedikit saja saya sudah menangis kesakitan. Memakai baju harus dibantu. Padahal dulu saya sangat aktif, seperti superwoman. Kehilangan kemampuan itu sangat memukul mental saya—yang dulu bisa segalanya, kini jadi tidak berdaya dan tergantung pada orang lain.

 

Saat menjalani pengobatan lupus, saya merasa obat yang diberikan terlalu keras, atau mungkin saya belum bisa menerima kondisi diri saya. Efek sampingnya luar biasa. Saya mual muntah, berat badan turun drastis, kehilangan selera makan, tidak ada semangat hidup, rambut rontok, dan hanya ingin tidur di balik selimut. Semua aktivitas terganggu. Akhirnya saya memutuskan berhenti minum obat. Padahal seharusnya penderita lupus harus rutin kontrol. 

 

Saat itulah saya menyadari ada kesombongan dalam diri saya. Saya merasa bisa menyembuhkan diri sendiri. Dan memang saya sempat bertahan selama satu setengah tahun. Tapi di Oktober 2024, saya kolaps. Awalnya saya kira hanya kelelahan. Kaki mulai bengkak, saya pikir, “Ah, istirahat saja.” Tapi ternyata memburuk—bengkak menjalar ke betis, paha, perut, sampai ke wajah dan mata. Saya bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali dan tidak bisa tidur selama tiga minggu.

 

Akhirnya saya dirawat dan harus menjalani cuci darah. Di ruang cuci darah itu saya benar-benar merasa antara hidup dan mati. Saya menolak, saya merasa sehat dan kuat. Tapi saya harus dirawat di ruangan itu, bersama orang-orang yang sebagian besar sudah lanjut usia. Saya sangat kaget. Di sebelah saya ada ibu-ibu yang terus berteriak “Alphard, Alphard” seolah merasa mobilnya akan diambil perawat. Di sisi lain, ada bapak-bapak yang muntah-muntah dan terus berteriak minta Tuhan mencabut nyawanya.

 

Suasananya sangat mencekam. Saya merasa seperti berada di neraka dunia. Saya sempat berharap bisa pingsan, agar tidak perlu mendengar semua itu. Tapi saya harus tetap terjaga. Puji Tuhan, sejak awal Desember saya diizinkan berhenti cuci darah. Walau begitu, kondisi saya masih sangat lemah. Saya masih disuapi, masih harus dibantu pakai baju, bahkan jongkok pun tidak bisa. Padahal dulu saya mantan paskibraka yang sangat aktif. Sekarang, semua berubah. Saya langsung merasakan bahwa Anicca itu nyata—semuanya tidak kekal.

 

Akhirnya jodohnya baru datang di bulan Februari, saya bisa ikut Tapa Brata. Hari pertama saya merasa tidak karuan—mimpi buruk bermunculan, kaki dan tangan bengkak, sesak napas, sangat menyiksa hingga saya menangis. Kamar saya berada di atas, jalannya sedikit menanjak, tapi bagi saya butuh perjuangan untuk melewatinya. Saya harus berpegangan untuk bisa berjalan dan di sini saya sendirian. Saya terus bertanya dalam hati, “Akar mana yang harus saya cabut?” Dan ternyata di sinilah saya benar-benar disadarkan. Kesombongan, kemarahan, dan kekecewaan itulah akar saya.

 

Saya merasa tidak boleh merasa puas dulu setelah Tapa Brata ini berakhir. Ujian sebenarnya adalah setelah pulang. Ketika saya kembali ke dunia nyata—apakah saya mampu mempertahankan Pikiran Harmonis dan pemahaman akan Anicca itu? Karena di sini, kita dikondisikan dalam kenyamanan. Konsentrasi jadi lebih mudah. Tapi begitu saya bisa pegang handphone saja, pikiran langsung ke mana-mana. Konsentrasi susahnya setengah mati. Inilah dunia yang harus saya hadapi.

 

Itu kesan saya. Kalau soal pesan, saya pikir kalau teman-teman punya kenalan yang sedang mencari penyembuhan, sangat layak untuk memberikan informasi mengenai meditasi ini. Program ini luar biasa bagus. Tadi malam saya telepon anak saya yang berusia 12 tahun, saya bilang, “Kapan ya kamu bisa ikut ke sini?” Kalau ada program untuk anak-anak, saya pasti ikutkan. Di sini semuanya kena—cakra kena, badan kasar kena, mental kena. Komplet dan hemat. Benar-benar worth it.

 

Saya harap Pak Merta Ada dan para instruktur di sini selalu diberi kesehatan, agar bisa terus menyebarkan ilmunya ke banyak orang yang sedang mencari jalan. Banyak di luar sana yang membutuhkan, tapi tidak tahu harus ke mana.

Program & Kelas

Jadwal Kegiatan

Program & Kelas

Program Meditasi