Bahkan terhadap orang atau hal yang paling saya benci dan takuti pun, perasaan yang ada hanyalah ketulusan.
Inilah hal terbesar yang saya dapatkan dari meditasi tapa brata bali usada.
Sebetulnya keikutsertaan saya di meditasi usada tapa brata sangat tidak direncanakan.
Bulan Februari 2001, rasa nyeri dari pergelangan kaki kiri hingga tulang punggung belakang saya sudah tidak terperikan lagi.
Rasa sakit yang saya derita sejak kecil ini, semakin menganggu aktifitas saya dan sedikit membuat saya takut membayangkan apa yang akan terjadi bila nyeri tersebut terus berlanjut. Hasil EMG yang terbaca menunjukkan gejala kelumpuhan di kaki kiri saya, walaupun pemeriksaan dokter dan MRI tidak menunjukkan banyak hal berarti selain sceleosis ringan. Saran dokter, untuk mengurangi rasa nyeri, sebaiknya saya dioperasi. Tentu saja saya menolak. Tidak ada jaminan, operasi akan sepenuhnya menghilangkan rasa nyeri dan menyembuhkan penyakit saya.
Lelah mengunjungi dokter, satu hari sebelum saya berangkat ke singapura untuk pemeriksaan lanjutan, saya memutuskan untuk ikut ayah saya meditasi. Padahal, saya tidak tahu apa itu meditasi. Bagi saya, yang terpenting adalah jeda dari kunjungan-kunjungan ke rumah sakit dan semua keruwetan mengurusi rasa nyeri.
Ternyata, meditasi tidak hanya membantu saya mengatasi rasa nyeri, lebih dari itu, tapa brata memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi paham arti hidup, mengalami dan menjadi hidup yang sesungguhnya. Lewat pelajaran darimana asal penyakit fisik bisa timbul, saya belajar arti ciptaan dan penciptaan Tuhan. Melalui tubuh, dan proses yang terjadi dengan tubuh saya, saya memahami sebab-akibat perbuatan dan makna peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi dalam hidup manusia. Keinginan dan ambisi, iri, marah, serakah, benci, ketergesaan secara sadar dapat saya terima bahwa semuanya ada dalam diri saya, dan secara sadar, seperti kerikil, mulai dapat saya punguti dan buang satu per satu. Akhirnya, nyeri hilang, damai didapat. Dan kini, satu do’a selalu untuk semua, semoga semua hidup berbahagia. Terimakasih, Pak Merta Ada.
Lili.