Testimoni Dilleta Legowo

Jurnal Pemikiran Orang Indonesia Berusia 21 Tahun yang Penasaran

Saya berakhir di sini karena percakapan dengan teman saya Tyo yang berkunjung ke Manila beberapa bulan yang lalu. Setelah mengetahui ketertarikkan saya pada yoga, dia memberi tahu saya bahwa dia telah mengikuti program retret bersama ibunya dan saya hanya bisa memikirkan betapa gilanya itu! Saya tidak pernah berpikir saya dapat bertahan seminggu tanpa berbicara, tanpa akses internet, tanpa mendengarkan ucapan“selamat malam”, “saya-merindukan-kamu” dan “saya-cinta-kamu” dari pacar saya, dan saya juga tidak berpikir bahwa saya mampu untuk mendapatkan waktu dan uang untuk sesuatu yang begitu mewah.

Singkat cerita, saya lalu merencanakan perjalanan ke Bali dan saya mencari tahu tentang retret ini dan ternyata biayanya jauh lebih terjangkau dari yang saya perkirakan (harga sudah termasuk penginapan dan makanan).

Sekarang, ada apa dengan kehebohan ini dan siapa sebenarnya Merta Ada yang sekarang saya panggil Guru? Sejujurnya saya hanya mengetahui sebanyak yang Tyo ceritakan kepada saya, yang telah membuat saya merasa penasaran. Untuk memulai, Guru Merta sama sekali tidak terlihat misterius. Ketika turis datang ke Bali untuk bertemu dengan penyembuh yang tidak konvensional, mereka mungkin berharap untuk bertemu dengan pria yang berkulit coklat, yang tampak primitif, tidak berpendidikan, dan memiliki kekuatan gaib. Guru Merta bukan seperti itu dan meskipun beliau adalah seorang penyembuh, beliau melakukan tugas yang lebih mulia untuk mengajarkan kepada ribuan siswa dari seluruh dunia. Saya awalnya berasumsi bahwa dia berusia akhir 30-an atau awal 40-an, tetapi setelah mendengarkan otobiografi verbalnya, saya baru tahu bahwa beliau sebenarnya lahir pada tahun 1957 (silahkan Anda hitung sendiri) di rumah yang kami singgah ini. Beliau adalah orang Bali dengan etnis Tionghoa, terpelajar, pandai berbicara, berpendidikan, rendah hati, dan memiliki selera humor yang tinggi. Beliau bahkan datang untuk membimbing kami pada jam 5 pagi dengan memakai sarung (celana maxi kotak-kotak yang biasa dipakai pria Muslim Indonesia untuk sholat), baju kancing putih polos yang agak kebesaran, hoodie putih, dan topi putih yang menutupi kepalanya seperti paus atau ustad, bahkan mungkin seperti sehelai kain. Saya tidak bisa memutuskan apakah beliau lebih terlihat seperti seorang pemimpin agama yang ambigu atau lurus.

Beliau mendirikan Pusat Meditasi Bali Usada dan mulai mengajar lebih dari 20 tahun yang lalu dengan misi utama berbuat baik di dunia. Silabus untuk program beliau yang saya ikuti, Tapa Brata I, pada dasarnya sangat sederhana dan komponen yang paling penting adalah “Pikiran yang Harmonis” dan energi positif. Yang pertama, “Pikiran yang Harmonis” adalah dalam keadaan yang terkonsentrasi, sabar, welas asih, dan bijaksana. Dalam tiga hari pertama, kami belajar untuk memahami dan mempraktikkan ini. Intinya adalah cara kita berpikir dan kesehatan mental kita dapat mempengaruhi kesehatan fisik kita, yang dapat memberikan pengertian mengenai mengapa beberapa orang terkena penyakit yang tidak dapat dijelaskan.

Di pendidikan Barat, kita terbiasa berpikir bahwa keberadaan manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Guru Merta mengajarkan kita mengenai empat tubuh yang kita semua miliki yang mencakup tubuh dan jiwa tetapi selain itu kita diajari tentang badan Meridian (saluran energi meridian seperti yang diajarkan dalam pengobatan Tiongkok kuno), dan badan Cakra kita (ajaran pengobatan India kuno). Beliau mengingatkan kita betapa beruntungnya kita sebagai orang Indonesia memiliki metode pengobatan tradisional dari berbagai tempat yang tertanam kuat dalam budaya kita. (Penafian: semua informasi ini diberikan kepada kami secara lisan dan saya belum memeriksa ulang faktanya, tetapi saya cukup yakin akan hal ini).

Modul Tapa Brata I terdiri dari 3 bagian: Hari 1-3 Memperkuat Pikiran Harmonis, Hari 4-5 Mengoperasikan Tubuh Kita dan Menghapus Memori Negatif Menggunakan Pikiran Kita, dan dua hari terakhir digunakan untuk membangkitkan energi positif untuk dunia. Kami akhirnya mendapat kesempatan bertemu Guru Merta pada hari ke-4, beberapa hari sebelumnya difasilitasi oleh stafnya yang terlatih dengan video ceramah Guru Merta (hal ini dapat dimengerti karena beliau mengadakan retret ini dari minggu ke minggu). Beliau memberi tahu kami bahwa sangat penting untuk beliau hadir pada malam ke-4 sebelum kami mulai melakukan penyembuhan pada diri sendiri. Saat itu, beliau datang terlambat karena penerbangannya dari Jakarta dibatalkan dan setibanya di Bali, pagi itu, beliau diberi kabar bahwa salah satu keponakannya meninggal dunia dalam kecelakaan sepeda motor di Lombok. Saya bisa membayangkan betapa traumatisnya hal itu baginya karena beliau juga kehilangan saudaranya sendiri di usia muda dalam insiden serupa, jadi sangat mengagumkan untuk melihat seberapa baik dia menguasai ketenangan emosinya dan berhasil menjaga prioritasnya tetap berjalan.

Terlepas dari semua masalah, beliau ada di sana bersama kami malam itu untuk “sesi penyembuhan” pertama kami. Oke, “sesi penyembuhan” terdengar agak menyeramkan tetapi saya tekankan bahwa tidak ada yang mistis atau gelap tentang ini. Bahkan, ini sangat mencerahkan. Kami hanya mengakses pikiran kami dengan fokus ekstra dan setiap orang mampu untuk itu dengan pengetahuan dan tekad. Oh ya, sebenarnya apa yang kita sembuhkan? Saya harus menjelaskan sebelum bercerita lebih lanjut … Sebagian besar murid Guru Merta telah sembuh dari sakit yang parah, kesengsaraan, kemandulan, penyalahgunaan narkoba, dan kadang-kadang ada juga orang yang penasaran seperti saya. Pada awalnya, aneh bagi saya berada di tengah-tengah orang yang menderita kanker, batuk di sana-sini, dll. Tetapi kemudian saya mengerti bahwa proses penyembuhan melalui meditasi ini pertama-tama menargetkan trauma atau memori dari pengalaman buruk dari masa lalu yang mungkin menyebabkan penyakit tersebut. Guru Merta berkata bahwa hanya 30% penyakit yang kita derita disebabkan oleh tubuh dan sisanya kita bawa sendiri dari gaya hidup, mentalitas, dan ketidaktahuan kita. Apa yang beliau definisikan sebagai penyembuhan tidak terbatas hanya pada memperbaiki fisik tubuh tetapi yang paling penting adalah memperbaiki yang ada dalam pikiran kita.

Dan juga, jika Anda bertanya-tanya tentang agama apa yang mendasari praktik ini, saya benar-benar dapat menjamin ke-universalitasnya, dan Guru Merta menekankan akan hal itu. Beliau tidak ingin agama memecah belah tujuannya untuk membantu orang. Beliau sendiri adalah penganut agama Buddhis yang taat namun kurikulumnya tetap tidak bias dan setiap sebelum meditasi, beliau mengajak peserta untuk berdoa menurut keyakinannya masing-masing. Beliau bahkan mendorong peserta Muslim untuk melanjutkan puasa mereka (karena saat itu adalah bulan Ramadhan) dan beliau meminta stafnya menyiapkan sarapan pagi dan makanan berbuka puasa untuk mereka, yang di luar jadwal makan kami biasanya. Saya sangat menikmati ini karena modul kami tidak termasuk makan malam dan kami diberi makanan terakhir pada jam 5 sore (hanya makanan ringan). Jadi saat berbuka puasa, saya akan menunggu sampai peserta yang beragama Muslim selesai mendapatkan makanan dari prasmanan, lalu saya diam-diam mengambil camilan di sana-sini (woops).

Kembali ke “sesi penyembuhan”… Guru Merta memberikan instruksi kepada kami untuk duduk dalam pose meditasi standar dan memberi perumapamaan seperti kita sedang menggendong bayi – cukup lembut agar tidak sakit, tetapi cukup erat agar tidak terlepas. Beliau mulai dengan memberi tahu kita cara mengatasi bagian yang sakit di tubuh dan jika ada yang tidak merasakan sakit apa pun, kita dapat berlatih dengan mengamati setiap bagian tubuh untuk mencari titik yang menyimpan trauma atau memori negatif. Cakra dan organ kita menyimpan memori, perasaan yang dialami di titik tertentu karena suatu kejadian dalam hidup kita, akan diingat. Jadi saya mengamati bagian-bagian dari tubuh saya dan menemukan rasa panas di cakra dada saya dan saya teringat dengan kemarahan yang dialami dalam hidup saya. Beliau meminta kita untuk menyadari perasaan itu, untuk benar-benar memahaminya, dan kemudian memberinya cinta kasih dan “melepaskannya”, dengan mengatakan “anicca/anitya”, bahasa Sansekerta yang artinya berubah atau tidak kekal. Beliau cukup besar pada gagasan bahwa segala sesuatu di dunia ini yang berkondisi dapat berubah, anitya (saya memparafrasekan). Semudah itu, katakan pada rasa sakit kita (dengan “Pikiran Harmonis”) bahwa itu tidak kekal. Saya memupuk kemarahan itu dan di dada saya mengidentifikasi memori yang menyebabkannya, mengatakannya “anitya” dan akhirnya merasakannya hilang. Beliau menjelaskan, memori buruk seperti ini dapat menyebabkan komplikasi kesehatan di kemudian hari. Dengan sekitar 20 menit tersisa dari sesi itu, saya mencari titik negatif lain di tubuh saya dan teringat bahwa saya pernah menderita Sindrom Bell’s Palsy di saat saya sekolah menengah dulu dan meskipun saya sudah pulih dengan cukup baik tetapi senyuman saya sering sedikit miring dan saya tidak bisa menggerakkan alis kiri saya. Saya mengikuti prosedur yang sama dan percaya atau tidak ketika saya bangun keesokan paginya dan melihat diri saya di cermin, seluruh wajah saya berfungsi dengan sempurna seperti sebelum kelumpuhan saya terjadi. Tetapi tidak semua dapat “langsung” sukses/sembuh. Proses penyembuhan bagi mereka dengan penyakit yang lebih kritis membutuhkan waktu hingga berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dengan meditasi yang disiplin – namun tetap efektif.

Tentu saja seluruh pengalaman ini tidak datang tanpa perjuangan. Saya orang yang sangat tidak disiplin dan mengikuti jadwal yang sudah diatur hingga menit ke-15 setiap hari yang dimulai pada pukul 4.30 dan berakhir pada pukul 21.30 itu sulit. Saya juga menghargai ruang pribadi saya sehingga kehidupan komunal adalah sebuah tantangan. Namun, saya akan mengatakan bahwa kesunyian (tanpa bicara) membuat jauh lebih tertahankan. Keheningan itu ternyata tidak begitu sulit. Kami begitu sibuk secara mental dengan program intensif sehingga hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah membicarakannya di luar ruang meditasi. Malam pertama terasa aneh. Saya secara tidak sengaja menyapa rekan meditator dengan anggukan sopan (hal itu tidak diperbolehkan). Suatu malam, saya juga sangat ingin meminta teman sekamar saya minyak kayu putih yang harum untuk menghangatkan perut saya, tetapi akhirnya saya mengumpulkan keberanian untuk meminta dengan cara meniru gerakkannya, dan dia dengan senang hati memberikannya.

Fakta menyenangkan tentang teman sekamar saya, yang kemudian saya baru tahu bahwa dia sudah seusia ayah saya, dia mendengkur sangat keras selama beberapa malam pertama tetapi mulai malam setelah sesi penyembuhan pertama dia tidur tenang seperti seekor tikus.

Vegetarianisme tidak buruk sama sekali karena makanannya luar biasa enak. Saya merasa lega karena tidak perlu bertanya-tanya apakah ada potongan hewan aneh yang saya tidak tahu di piring. Saya tumbuh dengan tidak pernah menyukai apa pun yang di luar norma dan terbiasa dengan daging tanpa lemak hingga hari ini. Alasan mereka untuk tidak menyajikan daging adalah karena pemahaman mereka tentang rasa ketakutan dan kecemasan yang muncul sebelum hewan-hewan tersebut di sembelih. Kecemasan itu melekat pada daging hewan tersebut dan mempengaruhi orang yang memakannya. Saya merasakan perubahan dalam tubuh saya, mungkin sebagian besar karena berada di tempat meditasi yang rileks ini, tetapi tentunya juga karena perubahan pola makan. 

Tidak tersambung dengan internet adalah hal yang biasa saja. Ternyata saya lega juga, karena tidak harus memberi kabar ke semua orang, mengambil foto-foto, dan khawatir tentang pengisian baterai. Tetapi, saya merasa sulit, tidak dapat mencari informasi kapan saja yang saya inginkan dan waktu istirahat saya akhirnya dihabiskan dengan berjemur di balkon (yang rasanya menyenangkan bagi saya).

Namun, bokong, paha dan kaki saya sangat menderita selama beberapa hari pertama. Mati rasa selama sesi 45-60 menit itu mengerikan! Juga tidak menyenangkan bagi saya untuk merasa seperti kami terus-menerus digiring ke ruang meditasi dengan bel setiap jam atau lebih untuk meditasi dan “Usada” dan latihan olahraga eterik, berbaris untuk makanan, dll. Saya merasa seperti seorang narapidana tetapi sekarang saya melihat betapa sederhananya pengalaman itu. Jika ada satu hal yang harus saya keluhkan adalah kamar mandi di lantai yang basah karena hal ini adalah sesuatu yang saya tidak sukai. Kebanyakan kamar mandi di Indonesia, tidak ada pemisah antara tempat mandi dan toilet, yang membuat lantai di kamar mandi selalu basah. Bahkan dudukan toilet pun selalu basah. Untungnya saya telah membuat kebiasaan untuk “melayang” ketika menggunakan toilet di tempat umum yang merupakan hal yang baik untuk dilakukan jika Anda ingin buang air kecil dan melatih otot paha depan Anda pada waktu yang bersamaan.

Cerita lucu, saya sedang mengantri untuk buang air kecil satu kali dan ketika teman sekamar saya keluar dari kamar mandi, wajahnya memberikan ekspresi seperti “oops! Lupa sesuatu”, lalu dia berbalik dan saya melihatnya mengambil semprotan air dan menyiram seperti sudah terbiasa ke seluruh lantai kamar mandi dan dudukan toilet. Aku hampir tertawa. Apakah ini norma budaya? Jika demikian, seseorang tolong berikan saya pencerahan.

Pada hari terakhir kami dibawa ke fasilitas baru mereka, Forest Island, sekitar 15 menit dari rumah Baturiti. Terletak di tengah-tengah Bali di sebidang tanah yang dipisahkan dari daratan oleh sebuah tebing. Sangat unik dalam formasi, “pulau” di daratan yang juga dianggap sangat spiritual oleh pendeta meditasi. Ada juga 3 tempat di lokasi tersebut di mana energinya sangat kuat dan positif, yang diperkirakan pernah digunakan oleh para biksu untuk meditasi di masa lalu. Ini adalah tempat meditasi yang sempurna lengkap dengan pohon Bodhi yang dikelilingi oleh bangku batu meditasi. Mereka berencana untuk membangun piramida multi-tingkat kolosal disana untuk tempat meditasi yang akan datang.

Kami memiliki kesempatan untuk melakukan meditasi terakhir di sana dan diikuti dengan sesi berbagi pengalaman. Saya terpilih sebagai salah satu dari 8 orang yang memberikan kesan dan pesan mengenai pengalaman saya selama seminggu itu. Untungnya saya diberitahu satu malam sebelumnya sehingga saya bisa mengorbankan setengah dari waktu tidur saya untuk membuat monolog yang layak dalam Bahasa Indonesia agar saya dapat menghindari mempermalukan diri sendiri di depan publik. Ketidak mahiran dalam bahasa Indonesia dan ketidakmampuan untuk mengucapkan huruf umum yang digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia (huruf “r”), membuat saya cemas. Tetapi sebagai komikal jenius, saya menggunakan itu untuk keuntungan saya dengan mengubahnya menjadi lelucon dan sepertinya saya berhasil mengundang tawa penonton (waktu yang tepat karena cinta kasih dan kebaikan sedang tinggi sehingga tidak ada “ejekan” untuk saya). Enam pembicara lainnya berbagi cerita yang lebih berat, sebagian besar menceritakan trauma hidup yang dalam yang membuat banyak dari kita turut sedih dan berlinang air mata. Orang terakhir yang beruntung mengambil kesempatan dan melebihi waktu yang dialokasikan untuk memberi tahu kami semua yang dia tahu tentang meditasi Buddhis dan penyumbatan yang dia alami di cakra seksnya dikarenakan kundalini yang tidak terkendali naik.

Pada akhirnya seluruh tantangan itu sama-sama menantang dan bermanfaat. Meditasi tidak mudah dan mungkin tidak untuk semua orang tetapi saya tidak takut untuk mengakui bahwa itu mungkin salah satu hal yang paling berharga dan manjur yang saya temukan dalam hidup saya sejauh ini. Saya tidak hebat dalam hal itu dan saya juga bukan yang paling rajin. Saya sering terlalu bersemangat tentang manfaatnya dan mulai menghitung semua orang yang saya kasihi yang akan saya rekomendasikan mengenai meditasi ini dan bagaimana cara termudah untuk memberi tahukan ke mereka. Di salah satu sesi, saya bahkan membayangkan diri saya mencoba mengajari beberapa teman saya cara melakukannya (serius, siapa yang tertarik?) Saya sangat merekomendasikan ini ke seluruh dunia. Karena tidak ada kesempatan untuk berbicara, berekspresi, menulis, atau menggambar, saya juga mendapatkan banyak ide selama seminggu itu. Saya sebenarnya sudah memikirkan setidaknya 25% dari artikel ini selama retret meditasi, (yang keren adalah saya ingat sebagian besar, tetapi mungkin tidak keren karena saya jadi tidak fokus). Bagaimanapun juga, sulit untuk meringkas semua yang telah saya pelajari selama seminggu menjadi satu tulisan, tetapi Guru Merta telah menyiapkan program yang sangat baik yang telah dia ajarkan secara langsung kepada lebih dari 64.000 orang dan yang terbaik yang dapat saya lakukan adalah memberitahu Anda untuk mencobanya sendiri. Mereka memiliki program yang sama dalam bahasa Inggris dan saya rasa biayanya tidak terlalu mahal. Ini juga merupakan alasan yang bagus untuk datang ke Bali (yang mana saya memiliki jutaan hal untuk saya ceritakan setelah berada di sini selama hampir 2 minggu). Bali Usada juga memiliki program subsidi silang yang memberikan kesempatan kepada orang-orang yang kurang mampu, dan mereka bisa datang tanpa biaya sama sekali. Guru Merta pernah membantu petani miskin yang sedang sakit untuk mengikuti kelas meditasi ini secara gratis. Banyak alumni juga terus mendukung program ini karena mereka telah merasakan program ini sudah mengubah banyak kehidupan.

Untuk mengakhiri, saya dapat mengatakan bahwa di sini saya telah belajar bagaimana menjadi benar-benar baik bagi diri saya sendiri dan orang lain. Saya mungkin mau membuat beberapa perubahan pola makan dalam hidup saya, meskipun ini mungkin hal yang terlalu dini untuk dikatakan, tetapi saya akan mulai mencoba membuat kebiasaan dengan bermeditasi sehingga saya dapat mempertahankan pikiran yang harmonis dan sehat untuk diri saya sendiri dan juga memberikan getaran yang baik kepada orang-orang di sekitar saya (getaran / energi baik adalah hal yang nyata dan efisien).

Jadi, mengikuti kata-kata dari Guru saya, “anitya, dan semoga semua makhluk dimanapun berada bahagia”.

“Semoga semua hidup berbahagia.”

Diletta Legowo

Program & Kelas

Jadwal Kegiatan

Program & Kelas

Program Meditasi