Testimoni Ibu Komang Puspayani
Perempuan baya itu kini sudah bisa tersenyum. Tidak ada lagi kegelisahan terpancar dari wajahnya yang masih menyisakan kecantikan masa muda. Ia bisa menikmati hari-hari yang berlalu dengan pikiran yang tenang, terutama menghadapi beragam tantangan hidup.

Padahal beberapa tahun lalu hal ini tak mungkin dilakukannya. Keinginannya untuk bekerja keras mencari nafkah seolah-olah tak henti-hentinya terpacu dalam pikirannya. Rasa tak puas hanya mencari nafkah di satu bidang ia akan memikirkan bagaimana mencari uang dengan cara lain. Saat itu ia bekerja mengurus administrasi sebuah pompa bensin. Ia juga memiliki kendaraan transportasi seperti bemo dan juga menerima pesanan jahit kebaya atau dari perusahaan garmen.

“Ada beberapa penjahit yang bekerja dan tinggal di rumah saya,” ungkapnya. Karena, lanjut perempuan berwajah tegar bernama lengkap Komang Puspayani ini, ia memiliki keinginan untuk membahagiakan keluarganya. Maka ia tidak mengenal lelah untuk berupaya memberi kesejahteraan yang maksimal terutama dari segi finansial bagi keempat anak-anaknya.

Cobaan datang di akhir tahun 1989 saat putra keempatnya berumur 1 tahun 7 bulan. “Anak saya masih menyusui waktu itu,” katanya mengenang. Malam itu, kisahnya, sekitar jam delapan ia merasakan alat kelaminnya (lubang vagina) terasa gatal. Seperti biasa bila ia merasa kurang nyaman dengan alat kelaminnya, ia akan menggunakan air rebusan daun sirih untuk membersihkannya. Kebiasaan yang rutin dilakukannya terutama bila ia baru saja melahirkan anak-anaknya. “Ibu saya yang memberikan saran itu,” lanjutnya.

Hanya saja kali ini resep yang diberikan itu tak memberikan reaksi yang baik. Pagi hari sekitar jam empat ia ingin buang air kecil. Betapa kagetnya ketika ia melihat pancuran air kencing yang dikeluarkannya tidak jatuh ke arah bawah tapi memancar ke samping. Ia mulai panik. Tapi ibunya menenangkannya dan terus membuatkan ramuan tradisional dari campuran daun sirih, abu dan lain-lainnya. Tapi tetap tak ada perubahan yang berarti. Bahkan alat kelaminnya membengkak dan ia tidak bisa berjalan dengan baik. Sekitar jam dua belas siang ia diantar ibunya pergi ke rumah sakit Kasih Ibu tempat ia dulu melahirkan putra bungsunya. Ia langsung menjalani rawat inap selama empat hari.

“Saya nggak bisa kencing. Kalau mau kencing harus pakai kateter karena bengkak yang terus bertambah besar.” Tampak raut wajahnya menerawang mengenang saat-saat yang menyakitkan itu. Menurut dokter ia mengalami infeksi dan harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah dan nanah yang ada dalam pembengkakan . Itulah awal penderitaan panjang yang harus dilaluinya. Karena setelah itu selama sebelas tahun penyakit itu secara rutin akan dialaminya selama empat-enam bulan sekali. Bila ia mulai merasakan penyakitnya akan kumat ia sesegera mungkin menggunakan air yang dicampur betadine untuk membilas alat kelaminnya. Tapi tak jarang pengobatan itu tak berarti sama sekali. Bila ia tak sanggup mengatasinya ia akan segera pergi ke rumah sakit.

“Bengkak itu tidak langsung bisa kempes. Terlambat sedikit saja memberikan pengobatan awal, alat kelamin saya akan membengkak cukup besar dan harus dibawa ke rumah sakit untuk merobek bengkak itu guna mengeluarkan darah dan nanah yang ada di dalamnya. Apalagi kalau yang mengalami pembengkakan alat kelamin sebelah dalam, hanya operasi jalan satu-satunya untuk dapat mengeluarkan nanah dan darah itu,” ujarnya sambil memejamkan matanya.

Ia merasa ngeri kalau mengenang saat-saat itu. Kala ia mendapat rujukan untuk melanjutkan pengobatan di Rumah Sakit Sanglah atau harus menjalani rawat jalan secara rutin selama dua bulan. Semua itu dilaluinya dengan kepasrahan.

Sampai suatu hari di tahun 2000 ia membaca iklan di Harian Bali Post yang menyebutkan ada kegiatan meditasi di Bali Usada Center dengan biaya Rp 120.000.  “Waktu itu saya dalam kondisi keuangan yang tidak stabil. Usaha saya macet karena saya harus berobat terus. Begitu juga dengan keuangan saya yang sudah habis terkuras untuk biaya rumah sakit atau untuk membeli obat. Wah…. untuk mendapatkan uang guna membayar biaya meditasi sejumlah itu rasanya sulit sekali,” kata Bu Komang sambil tertawa getir.

Untung saja kegiatan meditasi Bali Usada dapat diikuti lewat Radio Global. Sehingga ia mengikuti saja setiap petunjuk yang ia dengar melalui radio. Sampai beberapa bulan ia mengikuti pelajaran meditasi melalui radio.

Beruntung ibunya dan adiknya mendukung keinginannya untuk mengikuti kegiatan meditasi. Mereka berdua secara patungan mengumpulkan uang untuk membayar biaya. Dari pelajaran yang diajarkan ia merasa cukup cocok. Karena dalam ajaran di Bali Usada Center, pada prinsipnya seseorang harus sabar dan tidak mudah marah untuk memberikan kesehatan bagi badan manusia.

“Saya sejak muda sebenarnya memiliki pribadi periang dan tidak mudah marah, jadi rasanya cocok dengan ajaran yang diberikan di Bali Usada Center,” ujarnya.
Sejak itu, lanjutnya, ia terus mengikuti kegiatan meditasi reguler yang diselenggarakan setiap minggu sekali selama delapan kali pertemuan, dan terus mengikuti petunjuk-petunjuk yang diajarkan.

“Sampai-sampai usaha jahitan saya kurangi karena setiap jam dua belas siang sampai jam satu siang saya juga melakukan meditasi. Sehingga rutin dalam sehari saya mengikuti meditasi sebanyak tiga kali, pagi hari bangun tidur, siang hari dan malam hari sebelum tidur.”

Begitu pula saat ada kegiatan Tapa Brata sebagai lanjutan dari kegiatan meditasi reguler, ibu dan adiknya turut membantu mengumpulkan uang untuk membayar biayanya.   “Rasanya senang sekali mengikuti Tapa Brata selama enam malam tujuh hari,” kenang nenek empat cucu ini.

Yang jelas, katanya, sejak ia mengikuti kegiatan meditasi reguler dan dilanjutkan dengan kegiatan Tapa Brata sampai saat ini penyakitnya tak pernah kambuh lagi.  “Semoga saja tidak pernah kumat lagi,” harapnya. Begitu juga dengan penyakit rematik dan asam urat yang terkadang kambuh kini tak ada lagi.“Daripada harus membeli obat saat ini saya lebih suka melakukan kegiatan meditasi ,” lanjut ibu yang bulan April 2004 lalu merayakan ulang tahun ke lima puluh empat tahun. Menurutnya, saat ini ia lebih rileks menghadapi kehidupan. Tidak terkekang dengan keserakahan dalam mencari nafkah.

“Cari tenang itu susah lho..!,” katanya sambil tergelak.
“Padahal waktu pertama kali saya ikut meditasi, saya harus melakukannya dengan jongkok karena penyakitnya waktu itu cukup parah yang tidak memungkinkannya untuk duduk bersila. Dan juga kalau bepergian ke manapun harus membawa baju ganti karena ia sering mengalami kencing tak terkontrol.

Setelah hampir lima tahun terus mengikuti kegiatan meditasi, ia sudah merasa nyaman dengan tubuhnya. Bahkan kegiatan meditasi sudah menjadi hobi utama. “Kalau nggak meditasi rasanya seperti sayur tanpa garam,” ujar perempuan yang saat muda sering mengikuti kegiatan drama gong sebagai tokoh permaisuri atau ibu yang baik ini.

Meski sudah merasakan manfaat yang sangat besar dari kegiatan meditasi, ia selalu menekankan pada dirinya untuk tetap rendah hati dan tidak sombong. Ia mengakui, sebagai manusia terkadang juga merasakan ingin marah atau merasa jengkel pada sikap seseorang.  “Kalau kondisi itu muncul saya segera kembali kepada aliran nafas sebagai dasar kegiatan meditasi. Saya berusaha agar tidak muncul energi panas dalam tubuh yang bisa menimbulkan beragam penyakit,” jelasnya.

Sebagai rasa terima kasih karena kesembuhan yang ia peroleh, dengan sepenuh hati ia meluangkan waktunya untuk membantu kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Bali Usada Center. Sehingga tak heran, bila Bu Komang sering terlihat dalam kegiatan Tapa Brata yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun di Bali Usada Center.

“Saya mencoba membantu para peserta yang kebetulan kondisi tubuhnya tidak terlalu sehat dan melayani kebutuhan mereka. Karena dengan membantu mereka saya juga menyehatkan tubuh saya sendiri,” jelasnya. Dengan pengabdian ini, menurutnya, ia juga berharap penyakit yang pernah mendera dirinya tidak akan kambuh lagi.

Dirangkum berdasarkan wawancara bersama Ibu Komang Puspayani.  

Program & Kelas

Jadwal Kegiatan

Program & Kelas

Program Meditasi