Saya anak paling besar dari 3 bersaudara, perempuan semua. Ketika papa meninggal, usaha bangkrut dan adik saya yang ketiga itu masih sekolah di luar negeri. Papa sakit sekitar 5 tahun dan kita jual semua asetnya. Dan sisa satu rumah kita yang belum terjual. Akhirnya dijual juga untuk biaya adik saya kuliah. Papa meninggalkan hutang banyak banget ketika meninggal. Semuanya harus saya yang menanggungnya. Waktu itu stres sekali karena saya merasa di tahun 2014 itu saya masih sangat muda, baru lulus kuliah setahun. Jadi saya merasa stres sekali karena tiba-tiba sebelum meninggal papa bilang, “Jaga mama sampai mati. Sampai kapan pun jaga mama.” Jadi karena saya sayang banget sama papa, saya mengiyakan. Padahal pada saat itu belum ada penghasilan. Jadi karena saya stres, tapi kondisinya mendukung untuk bekerja lebih keras lagi.
Untungnya karma baik juga, saya bisa menghidupi mama. Dari yang kita tidak punya rumah sampai akhirnya kita bisa punya rumah lagi. Walaupun bukan di rumah yang sama, tapi untungnya jauh lebih baik dan bisa menyekolahkan adik sampai sekarang di luar negeri. Itu semua karena kondisinya mendukung. Tapi, akhirnya saya mencari pelarian, karena sangat stres. Saya sering pulang malam, pergi sama temen, minum alkohol. Intinya ketika bisnis saya naik, saya merasa tidak bahagia, saya merasa kosong. Hubungan dengan keluarga juga tidak dekat. Saya pikir yang penting saya bisa menghidupi keluarga. Kalau misalnya mama marah, saya aku kasih uang. Adik saya melihat, karena saya dekat sekali sama papa, ketika papa meninggal jadi distance myself. Ibaratnya seperti tidak ada emotion, merasa kosong. Tidak bisa merasakan apa-apa.
Adik saya tahu sebenarnya saya bukan orang yang seperti gitu. Akhirnya adik saya mengajak untuk belajar meditasi. Pada saat itu, salah satu muridnya Pak Merta juga, namanya Ibu Inge dari Solo, beliau mengajarkan meditasi untuk muda-mudi. Akhirnya saya mulai belajar meditasi dan saya sadar ternyata ada banyak hal yang lebih fun dibandingkan alkohol dan memabukkan diri. Mulai dari situ saya mulai menerima kenyataan kalau papa sudah tidak ada. Saya mulai menerima. Pada saat meditasi saya juga menerima bahwa saya harus menghidupi keluarga. Saya mengganti pemikiran, dari perempuan anak kecil yang harus menafkahi keluarga, oh sungguh malang, sungguh kasihan, menjadi sungguh berkah utama. Terima kasih papa sudah mempercayai saya untuk bisa menafkahi keluarga. Dari sana dengan mengubah mindset saja, usaha yang saya jalankan jadi jauh lebih besar dibandingkan yang pernah saya bayangkan dan saya tidak pernah berpikir usaha bisa semakin maju. Saya merasa sangat terbantu dari meditasi, saya menyadari banyak hal dari meditasi. Bukan hanya mindful tapi juga cinta kasih yang bisa merasakan kesedihan dan akhirnya bisa merasakan empati ke orang-orang. Menurut saya ini sangat powerful.
Sampai akhirnya saya ikut meditasi kesehatan Bali Usada. Ini bagus sekali. Favorit saya adalah meditasi cinta kasih. Jadi kita bisa menyebarkan cinta kasih bahkan pada orang yang bermasalah. Kita dijelaskan mengenai proses munculnya energi buruk dan energi baik. Jadi sebenarnya, saya masih manusia biasa jadi pasti ada pikiran buruk yang muncul. Tapi waktu itu masih tidak mengerti, jadi tidak begitu bisa menjelaskan ke diri sendiri ternyata memang masih ada proses-proses buruknya. Dan yang menginspirasi saya waktu itu saat Pak Merta bilang, “Saya tidak punya visi. Yang saya inginkan hanya berbuat baik sebanyak mungkin.” Dan itu membuat saya sangat tersentuh. Walaupun memang kadang muncul pikiran buruk tapi saya sadari saja itu Anicca dan saya tetap fokus sama tujuan untuk menyebarkan kebaikan sebanyak mungkin. Terima kasih. Semoga semua hidup berbahagia.
Felicia Regina – Sahabat Meditasi dari kelas Meditasi Intensif Tapa Brata