Lalu bagaimana dengan kopi itu? Pada saat saya membaca buku, akan ada seseorang yang dengan tulus hati membikinkan saya secangkir kopi, dan menghidangkannya di hadapan saya. Melihat kopi itu terhidang di atas meja dan kemudian menghirupnya…wah… rasanya tidak perlu saya katakan lagi….(meskipun saya bukan seorang peminum kopi, tapi saya dapat membayangkan perasaan itu). Jadi, jika saya menginginkan sesuatu maka saya akan melakukan sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan keinginan tersebut. Keinginan itu jika terwujud, akan saya anggap sebagai hadiah dari apa yang telah saya lakukan itu.
Lalu bagaimana jika ternyata tidak ada yang tergerak hatinya untuk membuatkan saya secangkir kopi? Tidak apa-apa. Mungkin saat itu belum saatnya bagi saya untuk menikmati secangkir kopi. Lagi pula saat itu saya sedang dalam suasana bahagia. Ada atau tidak ada kopi itu bukan masalah karena saya sudah menikmati dan merasakan kebahagiaan dari proses untuk mendapatkan secangkir kopi itu. Dalam hati saya terdapat keyakinan suatu saat nanti akan ada orang yang tergerak hatinya untuk menghidangkan saya segelas minuman entah itu segelas air putih, secangkir kopi atau bahkan jenis minuman lain yang jauh lebih nikmat dari secangkir kopi…
Saya merasa demikian pula halnya dengan meditasi yang tengah saya lakukan. Saya menyukainya. Jika dibandingkan dengan cerita di atas maka meditasi bagi saya adalah sama dengan proses menyapu, mengepel rumah dan membaca buku. Sedangkan secangkir kopinya… atau hadiahnya…saya tidak tahu…
Saya berkenalan dengan meditasi bali usada pertama kali tahun 1999. Sebelumnya, saya mendengar tentang meditasi ini dari adik saya yang memperoleh cerita ini dari temannya. Meskipun adik saya bercerita tentang segala kehebatan meditasi ini, saat itu, saya sama sekali tidak tertarik, Sampai akhirnya saya bertemu langsung dengan Bapak. Awalnya tujuan saya ikut meditasi karena saya tertarik dengan cara bapak memberikan diagnosa. Saya ingin tahu lebih banyak tentang itu.
Mungkin ini yang namanya jodoh. Kurang lebih seminggu kemudian saya langsung ikut tapa brata di wisma canosa. Dan pada saat mulai latihan di hari pertama, saya menjadi yakin dengan apa yang saya cari.
“Meditasi dimulai. Untuk melatih pikiran agar harmonis, bijaksana…
Setelah rajin berlatih selama kurang lebih dua tahun, alergi dingin dan debu yang saya miliki menjadi jauh lebih baik. Setelah menyapu dan mengepel lantai, kemudian membaca buku ternyata telah tersedia segelas air putih untuk saya.
Kemudian akhir tahun dua ribu, saya mulai merasakan ketegangan di daerah tengkuk saya. Rasanya semakin lama-semakin bertambah kuat sensasi yang saya rasakan, bukan hanya di daerah tengkuk tapi juga di seluruh kepala saya. Saya tidak mengerti semakin saya rajin berlatih, sensasi itu terasa semakin kuat. Herannya meskipun rasa tidak nyaman di kepala itu menguat, saya justru merasa semakin kuat.
Saya merasa meditasi ini akan membantu saya untuk menjadi orang baik. Karena saya semakin melihat keburukan yang terdapat di dalam diri saya. Pada saat saya bermeditasi saya seperti dapat merasakan sifat-sifat kurang baik yang terdapat dalam diri saya, seperti kemarahan, ketergesa-gesaan, kebencian, kemelekatan, dan sebagainya. Jadi buat saya meditasi adalah sebagai sarana untuk memperbaiki diri.
Rasanya pekerjaan menyapu, merapikan dan mengepel rumah itu menjadi semakin berat…karena saya semakin melihat kotoran dan debu di sekitar saya. demikian pula dengan jenis buku yang saya baca semakin membuat kening saya berkerut. Tapi saya menyukai prosesnya… Dan saya juga tidak tahu jenis minuman apa yang nantinya akan tersedia untuk saya…