Saatnya bagi Keheningan, Kedamaian, dan Kesembuhan (bag II)

Dikutip dari: Harian Kompas, Minggu, 9 Mei 1999 (bag II)

PENGANTAR REDAKSI

Menyusul pemuatan profil “Lebih jauh dengan” Prof Dr Luh Ketut dr Suryani SpJ (Kompas, 25/4/1999), banyak pembaca yang menanyakan soal-soal di sekitar meditasi. Guna menambah bacaan tentang masalah itu, Kompas hari ini menurunkan dua tulisan tentang aspek lebih luas meditasi di halaman ini. Untuk melengkapinya, dalam rubrik “Lebih Jauh dengan..” ditampilkan pula dua figur lain yang juga populer dalam dunia meditasi sekarang ini, yakni Anand Krishna dan Merta Ada. Semuanya disiapkan wartawan Kompas (Ninok Leksono)

————————————————————————————————————————————-

DI sebuah aula di Wisma Samadi, di Duren Sawit, Klender, Jakarta Timur, akhir Maret silam ada 42 orang-dari beragam kalangan (birokrat, pengusaha, mahasiswa, karyawan, wartawan, ibu rumah tangga), beragam usia (mahasiswa 20-an tahun hingga nenek 73 tahun), beragam daerah asal, beragam agama, beragam etnik-selama tujuh hari enam malam suntuk berolah meditasi, dengan lima hari di antaranya tanpa bicara, tanpa membaca, tanpa menulis…Program semacam ini kini diselenggarakan hampir secara reguler setiap dua bulan sekali.

Di sebuah aula gedung perusahaan, di sebuah gedung olah- raga, di aula toko buku, kegiatan semacam ini juga secara reguler berlangsung. Pusat meditasi seperti Anand Ashram yang dikelola Anand Krishna di Sunter, Jakarta Utara, atau Merta Ada di Sanur, Bali, tak pernah kelangkaan peminat.

Bisa disebut pula di sini meditasi prana yang selama beberapa tahun terakhir populer di Indonesia, khususnya yang ditujukan untuk penyembuhan. Ada juga meditasi Brahma Kumaris yang dikelola Yayasan Studi Spiritualitas di Jakarta.

Pengikut senam Chikung yang dikelola yayasan Kylin Indonesia juga diperkenalkan dengan dua jenis meditasi, yakni meditasi chi dan meditasi mikrokosmos untuk mendaya-gunakan cakra-cakra yang ada di tubuh.

Jauh sebelum itu semua, di Tanah Air sempat dikenal pula nama Subud yang juga mengajarkan meditasi. Pernah pula di dekade tahun 1970-an berdiri Yayasan Krishnamurti yang mengajarkan konsep meditasi- J Krishnamurti.

***

ARJUNA-yang mendambakan kesaktian-bertapa, itu hikayat Mahabharata yang kita kenal. Para resi dan empu bertapa, itu juga sudah semestinya. Orang modern di penghujung abad ke-20 “bertapa”, ini baru layak diceritakan. Sengaja pada kata bertapa terakhir diberi tanda kutip, karena laku orang modern yang mirip para resi atau pertapa di masa lalu atau di dalam hikayat, boleh jadi tidak sama persis.

Bertapa boleh jadi masih dekat dengan bayangan orang yang menyepi di gua, atau di tempat sepi lain. Orang modern masih belum seekstrem itu. Olah batin dan pikiran orang modern yang dekat dengan bertapa ini kadang di pusat samadi, sarana retret, atau pada satu aula gedung, atau sekadar ruang kerja pribadi yang bisa memberi ketenangan.

Lalu bagaimanakah gambaran para pertapa atau meditator itu? Manusia umumnya lazim bertapa sambil duduk bersila sambil memejamkan mata.

Bagi sebagian, melakukan kegiatan ini menimbulkan tantangan tersendiri. Pengalaman tokoh meditasi Anand Krishna dapat menceritakan sesuatu tentang hal ini. Anand yang sudah mulai berkenalan dengan meditasi pada usia 11 tahun menceritakan, “Hampir setiap kali saya mengikuti kelas-kelas semacam itu, dari awal mulanya saya sudah harus duduk diam, dalam posisi bersila yang tidak begitu nyaman bagi badan saya yang agak oversize dan selanjutnya dipersilakan untuk menenangkan pikiran, mengosongkan pikiran. Terus terang saja, saya tidak pernah berhasil. Tetapi melihat saya duduk tanpa gerak-gerik apa pun selama satu jam lebih, para guru/instruktur akan selalu memuji saya dan mengatakan, saya berhasil. Meski senang karena dipuji, dalam hati saya tetap berpikir, apakah hanya itu saja? Pikiran saya tetap melayang kemana-mana, tak terkendali dan bila saya berhasil duduk lebih dari satu jam, itu pun karena saya paksa, dan tidak nyaman sama sekali. Ah, mungkin itu meditasi.” (Seni Memberdaya Diri – Meditasi dan Reiki, Gramedia, 1998).

Kenyataannya, setelah mempelajari berbagai macam meditasi, termasuk setelah bertemu dengan guru yang memuaskannya, Sheikh Baba yang memperkenalkannya dengan meditasi sufi yang dikembangkan Mustafa Jallaluddin Rumi (hidup sekitar tahun 1200-an), juga setelah sempat menjajal meditasi transendental yang sempat sangat populer pada tahun 1970-an, saat Anand jatuh sakit pada awal tahun 1990-an, tidak ada satu cara yang dapat membuatnya tenang.

Menurut Anand, yang dapat mengubah keadaan dari sakit menjadi sembuh, dari gelisah menjadi tenang, adalah sikap mental yang berubah. “Bagaimana cara kita menghadapi kehidupan, itu yang harus berubah. Setelah perubahan itu terjadi, terapi hanya merupakan pelengkap saja,” tambah Anand.

Boleh jadi, ideal Anand itu masih terlalu tinggi bagi mereka yang kini berduyun-duyun mendaftarkan diri ikut meditasi. Dengan sebagian datang karena didorong rasa ingin tahu, calon meditator ini di padepokan bisa menemui situasi yang berbeda-beda.

Katakan posisi duduk bersila sambil memejamkan merupakan jalan awal menuju meditasi, ini pun soal yang tidak mudah. Bila kepada peserta diminta untuk memusatkan pikiran atau mengosongkan pikiran, justru pikiran itu makin senang mengembara liar. Tak berlebihan bila orang mengibaratkan, saat meditasi pikiran yang ingin ditata, justru memperlihatkan metafor sebaliknya, di mana 50 monyet yang ada di dalamnya saling berebut untuk melakukan kehendaknya sendiri-sendiri.

Dalam situasi seperti itu, pelajaran kriya yoga-semacam teknik pernafasan-pun bisa sulit dilakukan. Padahal Merta Ada-baca juga rubrik “Lebih jauh dengan..” hari ini-bertutur, waktu ia ingin mendapat kemampuan meditasi yang menyembuhkan, ia hanya disarankan agar melakukan konsentrasi untuk memperhatikan nafas keluar dan masuk hidungnya.

Mengapa pernafasan yang diperhatikan? Bagi pengajar meditasi, teknik ini diharapkan dapat menembus dinding perbedaan agama, sehingga peserta dari agama apa pun dapat melakukannya, berbeda dengan seandainya harus mengucapkan doa agama tertentu.

Alasan berikutnya, karena pernafasan menurut Merta Ada memang jalan yang diyakini bisa membuka gerbang bagi konsentrasi, kesadaran, dan kebijaksanaan.

***

BOLEH jadi apa yang diajarkan Merta Ada satu teknik atau pengetahuan yang pragmatis, meski hasil yang muncul bisa amat multidimensional, menjangkau perombakan kepribadian.

Sementara Anand Krishna mencoba menjelaskan konsep yang lebih luas menyangkut meditasi. Bagi Anand, meditasi bukan konsentrasi. Meditasi juga tak dapat diterjemahkan sebagai semedi. Duduk diam selama beberapa menit atau beberapa jam yang sekarang disebut semedi, bukanlah meditasi. Meditasi adalah gaya hidup. Bila meditasi telah menjadi dasar kehidupan seseorang, barulah ia disebut sebagai seorang meditator.

Tetapi seiring dengan pandangan Merta Ada, Anand mengatakan “konsentrasi merupakan anak tangga menuju meditasi. “Konsentrasi pada dasarnya akan menggelisahkan Anda, sebagaimana naik tangga melelahkan Anda.”

Anand mengingatkan lagi, pengalaman orang belajar mobil atau motor. Orang itu harus berkonsentrasi, hingga bila ada teman yang mengajak bicara pada belokan, Anda akan menegurnya. Musik yang agak keras dapat membingungkan. “Namun setelah mahir, Anda tak usah berkonsentrasi lagi. Kesadaran Anda telah menjadi semakin luas. Anda bisa dengar musik, bicara dengan teman, memikirkan usaha Anda, tetapi tangan serta kaki tetap jalan juga,” ujar Anand dalam buku Seni Memberdaya Diri, hal. 51, 52).

Namun meditasi, menurut Anand, hanya dapat terjadi bila orang sudah membebaskan diri dari sampah-sampah pikiran yang kacau dan emosi yang terpendam. Untuk memasuki alam meditasi, duduk hening, diam, tanpa gerakan, tidak akan pernah membantu. Untuk itu harus dilakukan pembersihan diri secara aktif, dan setelah itu keheningan, ketenangan akan terjadi sendiri.

Sebaliknya Merta Ada justru mempergunakan duduk hening tanpa gerakan dalam tapa brata untuk “mencuci” segala sampah yang ada di memori pikiran manusia. Yang dicuci dalam meditasi bukan hanya memori masa kini, tetapi juga masa lalu, bahkan sampai ke masa kecil atau malah belum lahir.

Dalam proses “mencuci” ini, Prof Suryani mengibaratkan otak manusia seperti komputer. Yang dilakukan lalu menyisipkan memori yang melawan (meng-counter) untuk memperbaiki memori atau pengalaman yang ada.

Dengan teknik tertentu, endapan rasa dendam, marah, ketidak-puasan, trauma rasa takut akan hal tertentu, coba dibongkar dan dienyahkan. Ada yang sambil duduk bersila biasa, ada yang sambil menari diiringi musik, ada yang sambil diminta berteriak melepaskan emosi apa pun yang terpendam.

Kenyataannya, setiap pengajar dapat memperkenalkan metode yang diyakininya. Namun sebagaimana dituturkan Prof Suryani, semua meditasi bertujuan sama. Menurut istilahnya: mencapai keadaan homeostatis atau keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan spirit. Istilah terakhir ini merujuk apa yang membimbing manusia waktu kecil, seperti belajar menyusu, berjalan, dan berkomunikasi. Sedang saat dewasa, yang lebih banyak membimbing adalah pikiran.

Boleh jadi, menyetir-contoh yang diambil Anand Krishna-yang dilakukan oleh orang yang sudah mahir merupakan kondisi homeostatis, karena tubuh, pikiran, dan spirit menyatu. Semua jadi otomatis. Dalam keadaan seperti itu, orang menjadi mudah belajar, berkreasi, dan menyelesaikan masalah.

Ini bisa dikaitkan dengan kesimpulan Anand Krishna maupun Merta Ada yang menyebutkan, meditasi membawa orang hidup dalam kekinian. Melalui olah ini, yang tercipta adalah-meminjam istilah Merta Ada- pikiran harmonis, yang tidak dibelah oleh hantu masa lalu maupun kekhawatiran akan masa depan. Dengan terbiasa bermeditasi, Merta Ada mengatakan ia jarang melamun, pikiran kosong mengembara ke sana-sini. Dalam keadaan seperti ini, wajar bila pikiran orang lalu menjadi tajam dan kuat, hingga efektif untuk menyelesaikan pekerjaan.

***

DI antara potensi luas meditasi, yang paling banyak dibahas memang yang terkait dengan penyembuhan. Kesaksian yang diberikan pasca meditasi, atau bahkan motif orang dalam mengikuti meditasi, sebagian besar berkaitan dengan tujuan penyembuhan.

Pada umumnya para meditator punya kaitan (bisa karena latar belakangnya justru bermula dari kedokteran modern atau ketabiban), atau punya klaim kemampuan menyembuhkan. Tetapi kebanyakan dari mereka menyatakan, seiring dengan pengobatan alternatif ini, penderita tetap dianjurkan menjalani pengobatan medis. Pada sisi lain ada juga klaim, bahwa pada beberapa penyakit tertentu, teknik meditasi lebih unggul dibanding kedokteran Barat. Itu sebabnya di sejumlah rumah sakit di negara maju kini banyak menambah elemen meditasi dalam ikhtiar penyembuhan pasiennya.

Keyakinan Prof Suryani boleh jadi sinkron dengan pendekatan kesehatan holistik yang diajukan Anand. Dalam apa yang disebut sebagai pendekatan bio-psiko-sosiobudaya-spiritual, Suryani menekankan perlunya memperhatikan pengobatan selain pada tubuh dan pikiran, juga terhadap spirit atau roh. Ini disebabkan manusia tidak hanya terdiri dari tubuh dan pikiran seperti yang selama ini dipercayai ilmu kedokteran Barat.

Bila benar meditasi berasal dari kata Latin mederi yang berarti “sembuh”, maka kloplah harapan orang yang dicurahkan terhadap kegiatan ini.

***

KONDISI yang membuat masyarakat mudah gelisah juga sempat membuat sebagian orang bertanya, apakah meditasi dapat menyumbangkan sesuatu untuk membantu menciptakan kedamaian.

Tak kurang Merta Ada dalam satu ceramahnya menceritakan sejumlah penelitian yang melibatkan meditasi massal di kota luar negeri seperti Amsterdam. Pada satu waktu ada sekitar 600 orang yang diminta melakukan meditasi serentak, lalu efeknya dicatat. Menurut catatan, ada penurunan dalam angka kecelakaan, masyarakat menjadi lebih kurang agresif.

Diminta pendapatnya mengenai hal ini, Anand Krishna mengatakan, bisa saja hal itu terjadi. Bila saja ada 5.000 orang di Jakarta bermeditasi bersama di empat sudut kota Jakarta, mungkin akan muncul energi positif yang bisa membantu menenangkan kota Jakarta selama beberapa waktu.

Namun Anand mengingatkan, lebih penting dari itu adalah meditasi untuk mengubah cara pandang warga Jakarta terhadap kehidupan, khususnya kehidupan yang mengandung banyak kemajemukan. Ringkasnya, dalam soal krisis, Anand tetap berpandangan tidak ada solusi instan. “Ini urusan jangka panjang, menuntut semua orang harus waras dan memiliki komitmen (untuk melakoni perannya sebaik-baiknya.)

Namun sebagai penutup, Anand juga menyampaikan, bisa terjadi meditasi bisa membuat negara ini menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. *

Program & Kelas

Jadwal Kegiatan

Program & Kelas

Program Meditasi