Tujuan saya mengikuti meditasi ini lebih kepada ingin belajar fokus dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menjaga kesehatan, yang sejauh ini sudah cukup baik. Namun, setelah berpikir mendalam selama sesi meditasi, saya menyadari ada pengalaman berharga yang saya alami, terutama saat meditasi cinta kasih.
Pengalaman itu begitu berkesan bagi saya, karena sebelumnya saya bukan orang yang rajin bermeditasi. Biasanya, saya hanya ikut-ikutan jika ada tetangga yang mengajak. Saya jadi teringat satu pengalaman penting dalam hidup saya. Sejak kecil, saya suka berenang dan diving. Kegiatan itu terus berlanjut hingga dewasa. Pada tahun 2017, saya berkunjung ke Nusa Penida, yang saat itu belum terlalu ramai seperti sekarang. Saat saya diving di sana, saya melihat banyak sampah plastik di laut dan rasanya seperti berenang di dalam “sup plastik.”
Ada momen ketika saya melihat ikan dengan mulut besar yang biasa memakan plankton. Namun, di antara plankton itu, banyak plastik yang ikut masuk ke mulut ikan. Saat itu, saya merasa frustasi dan sedih. Saya melihat ikan itu seolah lebih menderita, tapi dia tidak terlihat marah atau kecewa. Dalam hati, saya meminta maaf kepadanya, “Maaf ya, kami manusia telah merusak tempat tinggalmu yang sudah ada sejak ribuan tahun.” Seolah-olah, ikan itu berkata, “Aku hanya ikan, tapi kamu manusia kamu bisa melakukan sesuatu.” Saya tidak tahu apakah itu nyata atau hanya perasaan saya, tapi momen itu terasa seperti sebuah panggilan. Saya merasa punya tanggung jawab sebagai manusia untuk berbuat sesuatu.
Sejak saat itu, saya bertekad untuk mencari cara mengurangi masalah sampah, terutama sampah konstruksi. Ketika saya melanjutkan pendidikan arsitektur di Kanada, saya semakin sadar bahwa industri konstruksi menyumbang sekitar 40% emisi karbon global. Saya dan teman-teman mulai melakukan eksperimen kecil di kampus, menggunakan oven bekas yang kami temukan di pinggir jalan. Dari sana, kami membuat mesin kecil-kecilan untuk mendaur ulang sampah. Kenangan tentang ikan itu terus terpatri di benak saya dan saya berjanji pada diri sendiri untuk membantu Indonesia mengatasi masalah sampahnya. Saya belum tahu persis bagaimana caranya, tapi harapan saya adalah melihat setiap pulau di Indonesia mampu mandiri dalam mengelola sampahnya. Walaupun saat itu saya mungkin sudah tua, setidaknya saya bisa meninggal dengan bahagia.
Perjalanan hidup saya membawa saya ke berbagai tempat dan pengalaman, termasuk melewati pandemi COVID-19. Namun, semakin lama, saya merasa lelah dan sering merasa sendirian. Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah saya sudah menjadi pemimpin yang baik untuk tim saya. Itulah alasan saya memutuskan untuk ikut Tapa Brata ini. Selama meditasi cinta kasih, saya mengalami sesuatu yang sangat berharga. Saat saya berterima kasih kepada orang-orang yang berjasa dalam hidup saya, saya merasakan hangat di seluruh tubuh, seperti dipeluk dengan penuh kasih sayang—sebuah kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Pengalaman pertama yang sangat berkesan adalah ketika saya mengucapkan terima kasih kepada para leluhur saya. Saya merasa sangat bersyukur karena berkat mereka, saya ada di sini hari ini. Rasanya seperti ada bayi kecil yang dipeluk erat di dalam diri saya.
Saya juga berterima kasih kepada alam semesta atas segala hal yang telah terjadi, dan kepada ikan yang pernah saya temui di Nusa Penida. Berkat momen itu, saya berani membuat ikrar besar untuk membantu mengatasi masalah sampah di Indonesia. Ikrar itu memberikan saya semangat untuk menjalani hari-hari dengan penuh makna.