Pengalaman ini memberi saya banyak pelajaran. Namun, cerita ini bukan bermula dari pertemuan ini, melainkan dari tiga sesi Tapa Brata sebelumnya yang dihadiri oleh adik saya, Bimo.
Sebagai perkenalan, Bimo berusia 20 tahun, empat tahun lebih muda daripada saya. Dia tampan, tinggi, pandai berbicara, dan pintar dalam hal akademik. Bimo memiliki banyak teman yang rata-rata lebih tua darinya, berusia antara 25 hingga 40 tahun. Bahkan, saat Bimo pernah mengalami kecelakaan hingga tangannya patah, yang datang menjenguk adalah teman-temannya yang berusia 30 – 40 tahun. Ibu kami pun terkejut, bertanya-tanya mengapa teman-temannya begitu tua.
Bimo menyukai diskusi intelektual dengan orang yang dianggapnya lebih bijaksana. Namun, seperti dua sisi koin, ada dampak positif dan negatif. Sisi positifnya, dia menjadi lebih bijaksana dan memiliki banyak pengalaman hidup. Namun, sisi negatifnya adalah dia menjadi cemas ketika melihat teman-temannya yang telah memiliki mobil dan kekayaan. Pada usia 18 tahun, dia sudah merasa krisis.
Ketika berusia 20 tahun, Bimo mengaku kepada ibu kami bahwa dia mengalami kesulitan tidur. Saya menyarankannya untuk mengikuti program Bali Usada, yang sudah saya ikuti sebanyak tiga kali. Walaupun Bimo merupakan orang yang sulit untuk diam, dia memutuskan untuk mencoba. Setelah kembali, saya melihat perubahan pada wajahnya. Dia lebih sering tersenyum dan tertawa.
Cara-cara dia berbicara juga beda. Tapi saya baru benar-benar merasakan perbedaannya ketika kita sedang berantem. Kalau kakak beradik biasanya berantem, waktu kecil berantemnya rebutan remote TV. Kalau sekarang berantemnya berdiskusi mengenai politik atau hal-hal yang lebih intelektual.
Nah, kita waktu itu Lagi bahas mengenai privilege. Saya memandangnya dari perspektif kiri dan mengkritik konstruksi sosial. Namun, Bimo menantang pendapat saya dan mengatakan bahwa jika saya terus menerus melihat apa yang tidak saya miliki, saya akan selalu merasa hidup berat. Pendapat Bimo membuka mata saya dan membuat saya merenungkan banyak hal.
Baru setelah saya sendiri mengikuti program meditasi, saya memahami apa yang dimaksud Bimo. Saya belajar untuk lebih fokus pada diri sendiri, untuk mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain. Saya menyadari betapa pentingnya meditasi dan bagaimana itu dapat membantu kita dalam menghadapi hidup. Terlebih, untuk generasi muda saat ini yang seringkali terjebak dalam informasi dari media sosial.
Menurut saya, penting untuk belajar bagaimana bertindak berdasarkan kesadaran diri, bukan sekadar reaksi spontan. Saya mengerti mengapa Bimo kini menjadi lebih bahagia dan percaya diri. Dia telah memahami bahwa tidak apa-apa jika dia belum memiliki apa yang dimiliki oleh teman-temannya saat ini. Yang terpenting adalah bagaimana kita merespons dan menghadapi kehidupan.