Memandang foto saya yang dibuat beberapa tahun lalu, dan membandingkannya dengan keadaan saya sekarang, sungguh jauh berbeda. Dulu berat badan saya 49 kilo, rambut saya lebat, dan senyum saya cukup menawan karena bibir saya tampak melebar. Namun setelah penyakit autoimun yang menyebabkan kelemahan otot saraf penggerak (myasthenia gravis) menghampiri saya pada tahun 2002 lalu, kondisi tubuh saya sama sekali berubah. Berat badan susut lebih kurang 13 kilo, kaki lumpuh, wajah bengkak (moon face), penglihatan ganda, kulit melepuh, dan rambut rontok.
Paha saya tak ubahnya seperti leher sapi, karena massa ototnya hilang, insomnia, haid pun berhenti. Boleh jadi ketidaknyamanan yang saya rasakan itu merupakan efek samping obat-obatan yang harus saya minum, diantaranya corticostreroid dosis tinggi.
Karena otot wajah mengalami gangguan, saya sulit tersenyum, apalagi tertawa. Setiap bercermin, saya merasa seperti melihat orang lain bukan diri saya.
Belum pulih total
Sampai hari ini, penyakit saya belum pulih seratus persen. Namun, ada pengalaman yang ingin saya bagikan kepada pembaca. Kondisi kesehatan saya banyak mengalami kemajuan, setelah mengikuti meditasi kesehatan dan meditasi tapa brata di Bali Usada, pada tahun 2004.
Semula saya hanya tergolek di tempat tidur, kini sudah bisa berjalan tanpa dibantu, jari-jari tangan yang semula lemah, mulai berfungsi kembali. Penglihatan yang semula ganda (double vision) kembali normal, makan dan tidur tidak masalah lagi. Sungguh ini merupakan kenikmatan yang luar biasa bagi saya.
Saya juga sangat bersyukur memiliki suami yang hebat dan anak-anak yang selalu memberi semangat kepada saya, keluarga besar yang tidak habis-habisnya ‘menyirami’ saya dengan doa. Demikian pula para dokter yang selalu memberi perhatian, dan para instruktur dari Meditasi Bali Usada yang tidak henti-hentinya memberi bimbingan, para pembantu yang setia menyiapkan kebutuhan saya. Tanpa pertolongan Allah dan cinta kasih mereka, tidak mungkin saya bisa setegar ini.
Mengganggu msotorik
Setelah berhenti kerja dari sebuah perusahaan pada akhir tahun 2001, saya menghabiskan waktu di rumah, termasuk mengurus keperluan kedua anak saya.
Satu hari, ketika sedang menyetir, tiba-tiba mata saya terasa lelah, otot mata seperti terganggu hingga menutup sebagian. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Jika saya istirahat sebentar, kondisi mata kembali normal. Kejadian serupa, terjadi berulang-ulang, hingga berlangsung beberapa bulan.
Kejanggalan lain muncul kemudian, tangan tidak bisa digerakkan. Saya kaget luar biasa. Bayangkan saja, mengangkat sendok pun tangan saya tidak mampu, seperti kehabisan energi. Keadaan tambah parah, saya tidak bisa menelan. Kalimat yang meluncur dari mulut saya menjadi tidak beraturan, cara bicara saya pelo, tak ubahnya seperti penderita stroke. Apakah benar saya stroke?
Diantar oleh suami, saya menemui neurolog (ahli penyakit saraf). Dokter mengatakan penyakit yang saya derita cukup langka, dan belum ada obatnya. Obat yang ada, mestinon, hanya bisa mengurangi gejala, dan saat itu hanya ada di Singapura. Kami mencari obat tersebut. Memang benar, jika minum obat saya segar, antibodi pun terjaga.
Menjadi pelanggan ICU
Bulan Desember 2002, saya dan keluarga berlibur ke Jepang menengok adik, dan karena merasa normal, justru obat-obatan yang seharusnya menjadi prioritas pertama, tertinggal.
Hari pertama sampai hari kesembilan tidak ada masalah, tetapi pada hari ke sepuluh, saya kecapaian. Dalam kondisi badan yang lemah, penyakit saya kambuh lagi. Semua saudara panik, karena tidak ada obat yang bisa meredam sakit saya. Apa boleh buat, jadwal liburan yang seharusnya sebulan, harus berakhir pada saat itu juga.
Sesampai di Jakarta, saya langsung dibawa ke ruang ICU RS Pondok Indah untuk dirawat beberapa hari. Semenjak itu, rumah sakit dan ICU (baik di RS Pondok Indah, maupun di RS Kanker Dharmais) seperti rumah kedua saya sepanjang tahun 2003!
Penyakit yang memiliki nama indah itu, myasthenia gravis, ternyata tidak indah bagi saya. Saya tidak bisa tersenyum karena terjadi gangguan pada otot wajah. Otot leher pun terlalu lemah untuk menopang kepala. Saya harus makan melalui tabung karena otot tenggorokan saya lumpuh. Kondisi kesehatan menurun drastis, saya tidak bisa beraktivitas lagi, hanya tergolek di tempat tidur dengan keadaan lemah.
Menurut literatur yang saya baca, penyakit tersebut bisa hanya menyerang mata atau bagian-bagian tubuh tertentu, tetapi yang saya alami tidaklah demikian. Penyakit tersebut menyerang seluruh otot saya, termasuk otot pernapasan. Ini sangat berbahaya, jika tidak tertangani, saya tidak bisa bernapas.
Menjalani operasi kelenjar timus
Melihat kondisi terus memburuk, dokter menyarankan agar saya menjalani operasi kelenjar timus. Ia menduga, kelenjar tersebut sebagai biangkeladi merebaknya penyakit langka itu pada diri saya, hingga menyebabkan antibodi menjadi ‘liar’. Setelah kelenjar timus yang menjadi tumor itu diangkat, saya harus memakai alat bantu pernapasan (respirator), yang dimasukkan ke paru-paru selama beberapa minggu.
Oleh neurolog yang merawat saya, saya juga sempat dirujuk ke RS Kanker Dharmais. Di sana ada sebuah alat untuk mengganti plasma darah. Penggantian plasma darah dilakukan agar badan saya cukup kuat untuk menjalani operasi tersebut.
Disarankan meditasi
Pada saat dirawat di rumah sakit pada tahun 2003, Pak Boedi Yogipranata dari Gramedia, menyarankan agar saya mengikuti pelatihan meditasi di Bali Usada. Nama itu pernah saya dengar melalui teman-teman yang juga menyarankan hal serupa, namun ketika itu saya belum tergerak mengikutinya. Melihat kondisi kesehatan saya semakin menurun, saran Pak Boedi saya ikuti. Februari 2004, saya bergabung dengan Bali Usada, awalnya selama delapan minggu.
Konsentrasi meditasi usada, antara lain pada cakra dasar, ginjal, dan otot-otot. Chi dari ginjal diperbaiki kualitasnya. Setelah beberapa minggu merasakan cakra dan organ-organ tersebut, badan saya terasa panas, tetapi saya merasa senang. Meditasi Bali Usada, bagus sekali, sederhana, sistematis, dan masuk akal. Semenjak itu, sehari tiga kali yakni pagi, siang, dan sore, saya melakukan meditasi di rumah.
Mengikuti pelatihan pun saya tidak pernah absen, bahkan lebih semangat, karena merasa bisa mengontrol kesehatan saya sendiri.
Banyak Kemajuan
Saya pernah membaca rubrik Pengalamanku di Majalah Nirmala mengenai keberadaan instruktur Bali Usada (Ibu Roswitha Komar) yang memberi bimbingan meditasi kepada orang sakit. Bersyukurlah saya bisa berkenalan dengannya. Ibu yang sangat sabar dan rendah hati itu membimbing saya bermeditasi di rumahnya, seminggu dua kali. Sejak itu, hubungan kami menjadi akrab, layaknya seperti saudara.
Setelah lebih dari satu tahun berlatih meditasi dan sembilan kali mengikuti tapa brata (pelatihan meditasi dalam keheningan), yakni tujuh kali tapa brata 1, dan dua kali tapa brata II, saya banyak belajar tentang cara menyikapi hidup, termasuk bersabar.
Tapa brata merupakan pelatihan meditasi yang intensif, dilakukan dalam waktu satu minggu. Siswa tinggal di suatu tempat, melakukan meditasi di bawah bimbingan, dari pukul 0.5 pagi sembilan kali sampai pukul 21.30, dengan 3 kali istirahat, diselingi dengan 2 kali ceramah. Selama lima hari, siswa tidak diperbolehkan berbicara, membaca, menulis. Makannya vegetarian.
Hal yang menggembirakan terjadi ketika saya baru menyelesaikan tapa brata 1, saya sudah bisa berjalan dan naik tangga. Ini satu kemajuan yang luar biasa.
Setiap menyelesaikan tapa brata, saya mencatat perbaikan kondisi fisik. Saya mulai bisa tersenyum, bicara tidak pelo lagi, makan nasi dan lauk pauk, berjalan, bernapas, mandi sendiri, sesekali memandikan kedua anak saya, atau mencuci piring, makan malam bersama teman. Penglihatan pun sudah normal kembali. Obat mestinon, yang harus saya minum setiap hari, kini dosisnya hanya separuh dari biasanya. Saya sangat mensyukuri nikmat yang diberikan Allah.
Gaya hidup berubah
Sampai sekarang Ilmu Kedokteran tidak mengetahui dengan jelas penyebab timbulnya penyakit tersebut. Pimpinan Bali Usada, Bapak Merta Ada, mengatakan aliran energi di meridian tidak lancar. Dengan meditasi, aliran energi tersebut dilancarkan kembali.
Saya juga menyadari hidup saya dulu kurang teratur. Meskipun keluarga oke-oke saja, pekerjaan saya bagus, tetapi saya mengalami stres yang berkepanjangan. Saya juga sangat emosional.
Sejak mengenal meditasi, gaya hidup saya berubah. Mungkin juga karena kata-kata Ibu Komar selalu menempel di benak saya.
“Begitu seseorang sakit, ia yang sekarang sudah berbeda dengan ia sebelum sakit. Semua yang dilakukannya tidak bisa sama dengan yang ia lakukan sebelumnya. Kalau ia mau berubah (sembuh-Red.), harus berubah semuanya, gaya hidup, sikap hidup, pola makan, dan melakukan olahraga.”
Kendati belum sembuh sempurna, saya berusaha untuk berjalan kaki mengelilingi kompleks tempat tinggal saya setiap pagi. Sesampai di rumah, minum jus buah semangka atau melon yang mengandung kalium. Siang hari saya makan nasi dengan sayur, tahu, dan tempe. Ikan atau ayam hanya sesekali saya makan, sedangkan daging merah sudah saya stop sama sekali. Selain tidak sehat, saya tidak bisa makan makanan yang keras, karena capek mengunyah. Saya berusaha mneghemat kerja otot, agar tidak sakit lagi.
Meraih keseimbangan lahir dan batin
Kemjuan kesehatan saya sudah begitu pesat. Dari penampilan, berat badan saya sudah naik empat kilo lagi, rambut yang dulu rontok, sudah lebat kembali. Usia saya hampir 40 tahun, saya harus sehat dan harus bisa beraktivitas kembali.
Saya teringat lagi ucapan Ibu Komar. “Apabila seseorang ingin keluar dari penderitaannya atau sakitnya, ia harus mulai dari dirinya sendiri, karena ia yang bertanggung jawab terhadap kesehatannya.”
Dalam buku harian, saya mencatat bahwa kesembuhan tidak berarti sehat secara fisik saja, seperti bisa lari atau berjalan, tetapi mencakup keseimbangan antara kesehatan fisik, emosi, intelektual, dan spiritual.
Berkah dari penyakit yang saya derita selama ini yaitu kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Sehat itu benar-benar berharga! (N)
PENGALAMANKU
Nirmala November 2005
PENGALAMANKU
Nirmala November 2005
Pendapat:
Ibu Roswitha Komar
(Instruktur Meditasi Bali Usada)
Apabila seseorang yang sakit ingin melakukan meditasi untuk membantu penyembuhannya, dia harus yakin dan mengerti apa itu meditasi kesehatan dan bagaimana meditasi bisa memudahkan penyembuhan.
Hal ini disebabkan karena penyembuhan harus dilakukan oleh penderita sendiri secara teratur, tekun, dan dengan tekad yang kuat. Hal inilah yang menyebabkan 10 tahun yang lalu Guru Besar Bali Usada, Bapak Merta Ada, memutuskan untuk mengajarkan meditasi kepada pasien-pasiennya agar mereka tidak tergantung kepada penyembuh, tetapi mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dari dalam diri sendiri.
Sebagai instruktur di Bali Usada, saya berusaha untuk memberi pengertian dan membimbing peserta meditasi untuk melakukannya dengan cara dan pengertian yang benar sesuai dengan ilmu yang diajarkan oleh Bapak Merta Ada.
Dalam melakukan meditasi, seseorang sebaiknya melakukan dengan apa adanya, tidak diiringi keinginan dan harapan yang berlebihan, karena seiring dengan berjalannya waktu, kita akan belajar dari pengalaman dan perlahan-lahan akan mengerti tentang manfaat dan tujuan meditasi.
Merina menyikapi meditasi dengan cara yang benar. Meditasi dilakukannya dengan rileks, tekun, selalu menyadari dan mensyukuri kemajuan-kemajuan kecil yang dirasakannya.
Inilah pikiran harmonis yang menjadi dasar dari meditasi Bali usada, yaitu konsentrasi, kesadaran, kebijaksanaan, dan cinta kasih.
Meditasi sebaiknya dimulai pada saat seseorang masih muda dan sehat, sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan seumur hidup.