Testimonials Lauren

Amputasi bukan akhir. Saya justru mulai belajar meditasi

Nama saya Lauren dari Kelapa Gading, Jakarta. Mengikuti Tapa Brata secara onsite bagi saya adalah sebuah kemewahan.

Kemewahan ini bukan karena tempatnya di Bali atau di hotel yang sangat bagus, tetapi karena proses untuk memutuskan ikut itu cukup lama dan penuh pertimbangan.

Seperti sahabat-sahabat meditasi lainnya, saya juga merasa sulit untuk melepaskan handphone. Ada perasaan bahwa saya ini orang penting—kalau saya tidak ada, nanti bagaimana di kantor? Bahkan sebelum berangkat, saya banyak memberikan pesan-pesan untuk orang di rumah dan memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Sama seperti sahabat-sahabat meditasi lainnya, saya juga memasang profile picture untuk memberi tahu keberadaan saya. Akhirnya saya memutuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan self love kepada diri saya sendiri. Tahun ini saya berusia 59 tahun dan saatnya saya lebih menyayangi serta memberi perhatian kepada diri sendiri.

Saya pertama kali ikut meditasi secara online pada bulan Januari 2024. Saat itu, seperti cerita dongeng Pak Merta tentang sosok hero yang kepalanya hampir dipenggal, saya merasa kondisi saya mirip. Flashback ke tahun 2018, saya didiagnosis kanker sarkoma di paha kanan atas. Saya menjalani operasi dan radiasi, tetapi efek samping radiasi membuat kondisi saya semakin memburuk. Setelah beberapa kali operasi ternyata gagal memperbaiki keadaan, pada Mei 2022 saya harus menjalani amputasi.

Keputusan untuk amputasi adalah langkah sulit, tapi saya pikir lebih baik daripada memiliki kaki yang tidak berfungsi. Setelah itu, di akhir 2023, saya kembali menghadapi masalah kesehatan. Tubuh saya, terutama wajah, mengalami ruam merah. Dokter mencurigai adanya autoimun, bahkan mengarah ke lupus. Ketika membaca tentang lupus, saya merasa sangat khawatir. Dalam kebingungan itu, saya teringat tentang Bali Usada, yang sudah saya kenal sejak lama. Banyak teman saya, termasuk kepala sekolah saya, telah mengikuti meditasi di Bali Usada selama 20 tahun terakhir.

Suatu pagi, saat saya tidak bisa tidur dan membuka YouTube, saya secara ajaib menemukan video Bali Usada tentang lupus. Padahal, saya tidak pernah mencari topik tersebut sebelumnya. Dari sana, saya memutuskan untuk ikut meditasi. Saya mendaftar untuk onsite, tetapi penuh hingga April, jadi saya memulai dengan online.

Pengalaman meditasi online dan onsite tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Saat online, saya sering terganggu oleh pekerjaan sehingga kurang fokus. Namun, di hari ketujuh meditasi online, saya mendapatkan kejutan saat meditasi cinta kasih. Salah satu kategori meditasi ini adalah mendoakan orang yang bermasalah atau yang kita anggap musuh. Awalnya, saya merasa tidak punya musuh, tapi tiba-tiba muncul di pikiran saya nama seseorang yang pernah membuat saya kesal. Saat itu, saya mengirimkannya cinta kasih. Keesokan paginya, saya mendapat WhatsApp darinya yang meminta maaf atas kejadian tersebut. Saya sampai merinding karena kami tidak pernah kontak sejak kejadian itu.

Sebagai orang yang diamputasi, saya juga sering mengalami phantom pain, yaitu rasa sakit pada kaki yang sudah tidak ada. Rasa sakitnya seperti ditusuk paku, berlangsung beberapa detik, tetapi sangat menyakitkan. Dokter menyarankan saya untuk minum obat seumur hidup, tapi saya pikir selama masih bisa ditahan, saya akan mencoba bertahan. Setelah beberapa hari meditasi, rasa sakit itu semakin terasa, hingga saya menghubungi Pak Martin yang bertugas sebagai Instruktur waktu itu. Beliau menyarankan saya untuk menerapkan konsep Anicca (ketidakkekalan). Benar saja, setelah saya menerima rasa sakit itu dengan tenang, sore harinya rasa sakit tersebut hilang.

Namun, saya sadar bahwa untuk menjaga manfaat meditasi, konsistensi adalah kunci. Seperti yang dikatakan Pak Putu, jika kita berhenti latihan selama tiga hari, efeknya akan memudar. Saya pernah mengalami ini saat berhenti meditasi karena kesibukan. Rasa sakit kembali muncul dan saya harus memulai latihan lagi dari awal. Ini menjadi pelajaran penting bagi saya dan mungkin juga untuk teman-teman, bahwa kita tidak bisa hanya berharap pada Tapa Brata. Kita harus terus konsisten dalam latihan.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa meditasi bukan sekadar keterampilan, tetapi juga sebuah gaya hidup yang perlu dijaga. Terima kasih kepada semua pihak di Bali Usada yang telah mendukung perjalanan saya. Semoga pengalaman ini juga bermanfaat bagi teman-teman yang lain.

Program & Class

Activity Schedule

Program & Class

Meditation Program