Tahun demi tahun pemandangan itu terpatri dalam hatinya. Hatinya rapuh. Belum lagi penyakit asma bawaan yang disandangnya sejak lahir, sering kambuh. Beruntunglah, meski Papa masih memperhatikannya. Menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit yang tak jauh dari rumahnya.
“Saya sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit. Para suster sudah sangat hafal bila saya tiba di rumah sakit. Dalam pikiran para suster itu, pasti serangan asma datang lagi,” ungkap Grace dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya menerawang mengenang masa-masa itu.
“Otomatis sejak saya lahir sampai saya berumur 42 tahun saya menderita penyakit asma,” lanjutnya.
Tak terhitung beragam cara sudah dijalaninya untuk menyembuhkan penyakit itu. Dari bermacam-macam tumbuhan, jamu-jamu sampai beragam hewan telah dimakannya dalam upaya mencari kesembuhan.
“Dari biawak, trenggiling, anak-anak tikus yang baru lahir, kutu Jepang yang masih hidup sudah pernah saya makan. Yang paling mengerikan saat saya harus memakan empedu ular cobra yang masih hidup. Bayangkan saja, saya harus memilih seekor ular cobra kemudian ular cobra yang masih hidup itu disilet dan diambil empedunya. Dalam kondisi ular masih sekarat, empedu dicampur dengan anggur dan darah ular ditampung dalam sloki dan harus segera saya minum. Nggak kebayang dech ngerinya…..! Padahal waktu itu tahun 1997 harga satu ekor ular cobra senilai Rp 75.000,” kata Grace sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Situasi di dalam rumah menurutnya, tidak pernah tenang, selalu dalam kondisi stress. Keadaan yang memungkinkan menjadi pemicu munculnya serangan asma.
Papa akan selalu mengatakan kepada siapa pun, serangan asma itu akibat penyakit keturunan Oma-Opa. “Padahal penyakit meskipun merupakan penyakit keturunan, masih tetap bisa dilawan bukan ?,” ujarnya. “Tapi begitulah Papa,” cerita Grace sambil tersenyum, meski nampak getir.
Tahun 1980, di usia 25 tahun, ia menikah di kota kelahirannya, Surabaya. Tahun 1987 Papa meninggal dunia. Tahun itu pula ia mulai melirik Pulau Dewata sebagai lahan mencari sesuap nasi. “Saat itu saya juga merasakan penderitaan yang tak kunjung usai.” katanya. Kondisi prihatin yang terus membuatnya tetap hidup dalam serangan asma. Bahkan saat ia hendak melahirkan anak pertama Seila (23), serangan asma itu datang juga. Beruntung ia didampingi dua orang dokter yakni dokter kandungan dan seorang dokter ahli tentang asma. “Padahal saat itu saya sudah sangat ketakutan karena seorang ibu di sebelah saya meninggal karena juga terserang asma,” lanjutnya bergidik.
Tahun 1997 secara tak sengaja ia membaca iklan di sebuah media lokal. Sebuah iklan tentang adanya kegiatan meditasi. Waktu itu ia hanya membaca sekilas. Sebelum kemudian akhirnya ia berusaha mencari informasi tentang keberadaan Bali Usada Center, penyelenggara kegiatan meditasi. Mencari informasi apa itu meditasi, dan apa itu Bali Usada Center. “Saya datang ke tempat itu benar-benar karena sentuhan Tuhan, tidak ada yang menyuruh atau memberitahu saya,” ujarnya. “ Saya benar-benar ingin tahu apa itu meditasi dan apa manfaatnya.”
Awalnya ia mengikuti kegiatan meditasi reguler, yakni kegiatan meditasi sekali seminggu selama delapan kali berturut-turut. Kemudian mengikuti kegiatan Tapa Brata, yakni menginap, tidur di tempat meditasi tanpa boleh berbicara, tak boleh membaca, tak boleh menulis. Semula terasa berat, tapi ternyata nikmatnya luar biasa. Terutama ceramah dari Bapak Merta Ada.
“Sungguh luar biasa,” ungkap Grace. “Padahal apa yang dikatakan, ada juga yang pernah saya baca di Alkitab. Seperti, agar senantiasa berbuat baik, menjauhi kejahatan, menjauhi kesombongan, menjauhi keserakahan, menolong orang, bakti pada orang tua. Semua itu ada di Alkitab. Saya tahu tapi tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saya justru tersentuh pada ceramah Bapak Merta Ada dan membuka mata hati saya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Yang pasti, membuat sikap hidup saya berubah. Ini yang luar biasa. Dengan mengikuti Tapa Brata justru saya lebih memahami makna
Kitab Suci,” lanjut Grace bersungguh-sungguh.
Melalui meditasi dalam kegiatan Tapa Brata, beberapa hal yang saya peroleh yaitu mampu mengubah hidup saya, senantiasa intropeksi diri, bisa melupakan trauma-trauma masa lalu.
Terhitung ia sudah mengikuti kegiatan Tapa Brata sebanyak sembilan kali. Dan ia ingin ikut terus dan terus. Hanya saja ia sering terbentur waktu yang cukup sulit ditemukannya karena selalu sibuk dengan beragam kegiatan berkaitan dengan kemampuannya sebagai seorang instruktur senam.
Saat ini setiap pagi dan tengah malam, sesudah berdoa, ia melakukan meditasi. Bila ada pikiran yang susah atau debu dan udara lembab yang mampu memicu munculnya serangan asma, ia akan bawa dalam meditasi.
Ditemani kedua anak perempuannya Seila (23) dan Carla (21) ia mengisi hari-harinya dengan tenang. Di usia 49 tahun ia merasakan serangan asma itu mulai lenyap dalam hidupnya. Ia juga mampu melepaskan diri dari trauma-trauma masa lalu. Dan juga melepaskan diri dari rasa dendam, sakit hati pada siapa pun. Bahkan sekarang ia sudah mampu mendoakan orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.
Dirangkum dari hasil wawancara bersama Ibu Grace.