Testimonials Felix

Hubungan saya selama delapan tahun kandas yang membuat hidup saya terasa hampa

Nama saya Felix. Saya berasal dari Jakarta, dan perjalanan saya ke sini cukup panjang—1300 km saya tempuh dengan mobil.

Perjalanan ini sengaja saya lakukan untuk kontemplasi. Ini adalah Tapa Brata kedua saya, dan banyak teman bertanya, “Kenapa ikut dua kali? Apa yang dicari?” Jadi, izinkan saya berbagi cerita.

Alasan saya mengikuti Tapa Brata pertama adalah karena pengalaman patah hati yang cukup berat. Hubungan saya selama delapan tahun kandas dan itu membuat hidup saya terasa hampa. Di keluarga saya, kami tidak terbiasa untuk curhat, jadi saya tidak punya tempat untuk berbagi. Dalam kondisi ini, seorang teman menyarankan meditasi untuk mengatasi stres. Awalnya saya skeptis karena tidak tahu apa-apa tentang meditasi, tetapi setelah mencari informasi di media sosial, saya menemukan Bali Usada. Banyak orang membicarakan program ini, jadi saya memutuskan untuk mencoba.

Waktu itu, saya terus berjuang mendapatkan slot karena jadwalnya selalu penuh. Saya bahkan sampai memaksa admin Bali Usada untuk mencarikan slot dan akhirnya saya berhasil mendapatkan jadwal di Rumah Luwih. Saat mengikuti Tapa Brata pertama, saya awalnya hanya ingin menghilangkan stres. Namun, saya mulai memahami bahwa meditasi ini juga bisa membantu menyembuhkan tubuh dan pikiran. Pada saat sesi kesan pesan waktu itu, ada seorang peserta yang bercerita tentang peningkatan fungsi ginjalnya dari 10% menjadi 90% setelah beberapa kali meditasi. Mendengar cerita itu, saya merasa ada harapan dan ingin belajar lebih dalam. Saya pun langsung mendaftar untuk ikut Tapa Brata 1 lagi. 

Setelah sesi pertama, saya mengikuti meditasi lanjutan tekad 90 hari di rumah. Setelah selesai, saya tidak konsisten lagi berlatih karena merasa sudah sembuh. Nasib baik, nasib buruk tidak ada yang tahu, saya mengalami kecelakaan saat berlibur di Amerika. Sampai saya pulang ke Indonesia, pundak saya masih terasa sakit. Saya berpikir untuk menyembuhkannya saat saya ikut Tapa Brata lagi.

Di Tapa Brata yang kedua ini, ada banyak momen yang membuka pikiran saya. Salah satunya adalah ketika saya dihadapkan dengan memori tentang ibu saya yang tidak terlalu suportif saat saya sakit. Saya tidak punya figur ibu yang hangat, tetapi saya belajar untuk memberikan kasih sayang kepada diri sendiri, seperti seorang ibu yang merangkul anaknya. Dalam meditasi, saya membayangkan sel-sel tubuh saya seperti anak-anak yang polos dan sepenuhnya bergantung pada saya. Mereka menerima apa pun yang saya berikan, baik itu energi positif maupun negatif. Dari situ, saya belajar tentang self love—bagaimana mencintai diri saya sendiri dengan lebih baik. Pada saat sesi penyembuhan, saya memfokuskan pada pundak yang sakit. Setelah beberapa hari, saya merasakan sakitnya sudah tidak ada. Saya merasa jauh lebih baik. 

Ada juga momen di mana saya menyadari bahwa meditasi bukan tentang hasil instan. Ini seperti menyiram keranjang sepeda yang berlubang; mungkin airnya tidak tertampung, tetapi setidaknya debu-debu hilang dan keranjang tetap bersih. Ini akan menjadi pegangan saya ketika merasa bosan dan tidak mendapatkan hasil ketika berlatih. Karena meditasi mengajarkan saya untuk sabar dan menjalani proses, bukan hanya berfokus pada hasil. Saya juga belajar bahwa durasi meditasi tidak harus lama. Bahkan 10 menit meditasi yang dilakukan dengan konsisten bisa memberikan manfaat besar.

Kesimpulan dari pengalaman ini adalah bahwa meditasi telah membantu saya menghadapi stres, lebih mencintai diri sendiri, dan menjalani hidup dengan lebih harmonis.

Program & Class

Activity Schedule

Program & Class

Meditation Program