Pada tahun 2022, saya sering keluar masuk rumah sakit di Indonesia. Saya mengalami sakit di satu sisi wajah saya, seolah-olah seperti tenggelam — seperti ada air masuk, membuat saya sulit bergerak atau bangun. Setiap kali kondisi saya memburuk, anak saya membawa saya ke rumah sakit untuk diperiksa.
Namun, rumah sakit di sini mengatakan bahwa saya hanya mengalami sinusitis dan menyarankan untuk menjalani operasi. Bahkan, dokter menyarankan saya untuk mencabut dua gigi sebagai bagian dari pengobatan sinus. Saya kaget mendengar itu dan akhirnya mencari rumah sakit lain di Jakarta. Saya mendatangi tiga rumah sakit, tetapi tidak ada perubahan dan sakitnya tetap berlanjut.
Anak sulung saya kemudian menyarankan agar saya pergi ke luar negeri. Meskipun asuransi saya mencakup pengobatan di berbagai negara, seperti Jepang, saya merasa lebih nyaman pergi ke Malaysia. Di Malaysia, saya mengunjungi tiga dokter, dokter spesialis penyakit dalam, dokter syaraf, dan dokter THT. Dokter spesialis penyakit dalam menyarankan saya untuk menjalani beberapa pemeriksaan, termasuk MRI. Saya diminta untuk rawat inap selama satu minggu. Menurut dokter saraf, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa masalah saya bukanlah sinusitis, melainkan saraf yang terjepit oleh pembuluh darah. Dokter mengatakan satu-satunya solusi adalah operasi, tetapi dokter THT melarang operasi karena berisiko menyebabkan stroke.
Saya merasa bingung dan frustasi. Sementara itu, saya terus merasakan sensasi seperti ada air di kepala. Saya kemudian memutuskan untuk mencari second opinion di Penang dan menemui dokter. Dokter tersebut mengonfirmasi bahwa kondisinya serius dan tetap menyarankan operasi. Saya merasa terkejut dan bertanya-tanya, “Mengapa saya bisa mengalami penyakit seperti ini?” Namun, bahkan dokter tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti. Mereka menggambarkannya seperti masalah listrik tiba-tiba padam tanpa penyebab yang jelas.
Keluarga saya sudah lama menjalani meditasi di Bali Usada, termasuk anak saya, Felicia, yang akhirnya menyarankan saya untuk mencoba meditasi sebagai alternatif. Pada tahun 2022, saya mulai mengikuti meditasi, meskipun saat itu saya masih mengonsumsi obat-obatan, termasuk obat saraf. Saya ingat, jika terlalu lama duduk, kepala saya bisa turun dengan sendirinya. Anak saya khawatir dan mengatakan bahwa ini tidak bisa dibiarkan, terutama karena usia saya masih tergolong muda.
Felicia kemudian mendaftarkan saya ke Bali Usada. Saya benar-benar fokus mengikuti kegiatan meditasi. Pada bulan September 2022, saya datang untuk pertama kalinya. Saat itu, saya masih mengonsumsi obat. Lalu tahun 2023 saya datang lagi. Setelah konsultasi dengan Pak Merta, beliau menyarankan agar saya menghentikan obat secara bertahap dan lebih fokus pada meditasi, terutama di cakra dada dan bagian tubuh yang sakit. Saya mengikuti nasihat tersebut dan terus konsisten bermeditasi.
Perlahan tapi pasti, kondisi saya mulai membaik. Saya tidak lagi merasakan seperti ada air di kepala dan rasa sakit berangsur-angsur hilang. Dokter sebelumnya menduga saya mengalami trigeminal neuralgia, tetapi rasa sakit yang dulu parah kini sudah tidak ada lagi. Saya berhenti mengonsumsi obat. Hingga sekarang saya tidak pernah kembali ke pengobatan medis.
Meditasi menjadi bagian penting dalam hidup saya. Setiap pagi, saya bermeditasi selama satu jam, meskipun terkadang saya melakukannya lebih lama demi menjaga kesehatan. Bahkan saat bepergian atau menginap di hotel, saya tidak pernah melewatkan meditasi. Hingga detik ini, saya tetap konsisten. Saya tidak pernah lagi merasakan gejala penyakit dan tidak memerlukan obat sama sekali. Saya merasa sangat bersyukur dan ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung saya dalam perjalanan ini. Meditasi telah menjadi penyembuhan terbaik bagi saya dan saya akan terus melakukannya untuk menjaga kesehatan dan ketenangan batin. Terima kasih.